Selasa, 10 Maret 2009

BAGIAN I

MANUSIA, KEBUDAYAAN, DAN PERADABAN

A. Manusia

Pembicaraan tentang manusia tidak dapat dilepaskan dari peradaban dan kebudayaan, begitu juga sebaliknya pembicaraan tentang peradaban tidak dapat dilepaskan dari konteks kedudayaan dan tidak dapat dilepaskan dari manusia sebagai pelakunya, pencipta dan pengguna. Timbul pertanyaan, siapakan manusia itu, darimana asalnya, bagaimana manusia diciptakan, bagaimana ia berkembang sehingga memiliki daya dan keagungan rohani, yang dapat membedakannyanya dengan makhluk lain?[1]

Pertanyaan tentang siapakah manusia telah banyak memperoleh jawaban dari para ahli pikir yang terdahulu. "Filosof Yunani kuno Aristoteles [384 - 322 SM], memberikan jawaban dengan menitik beratkan pada “kemampuan manusia berpikir” dan “berkodrat hidup bermasyarakat”. Manusia dikatakan sebagai animal rasional [makhluk berpikir]".[2] Sarjana-sarjana muslim mendefinisikan manusia al-hayawanun Nathiq الحيوان الناطق] ] yang dalam hal ini istilah nathiq ناطق]] berarti rasional dan manusia memiliki suatu fakultas batin yang mampu merumuskan “makna-makna” yaitu dzu-nuthq [ذونطق ].[3] Selain itu, ada pandangan tentang manusia dilihat dari sudut manusia memiliki keistimewaan menggunakan "simbol-simbol". Filsuf Inggris Ernst Cassirer [1874], menyatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum [hewan yang bersimbol]. Sebagian para ahli yang melihat manusia, dengan menitikberatkan pada keharusan manusia bekerja mereprodusir bahan-bahan alami menjadi bahan-bahan ekonomi guna menenuhi kebutuhan hidup manusia sehari-hari, maka Karl Marx [1818 – 1883] mengatakan bahwa manusia adalah homo fabe 1883] mengatakan bahwa manusia adalah homo faber [makhluk pekerja],[4] dan masih banyak lagi pandangan tentang manusia yang dikemukakan para ahli, yang masing-masing menitik beratkan pada salah satu segi dari ciri-ciri, karakteristik, dan sifat-sifat yang dimiliki manusia.

Dalam Qur'an ditemukan jawaban atas pertanyaan: dari mana manusia berasal, bagaimana penciptaan manusia, dan bagaimana ia dapat berkembangan yang memiliki daya dan keagungan rohani dan membedakannya dengan makhluk Allah yang lain. Dalam Al-Qur’an telah menegaskan dengan memberi jawaban bahwa manusia adalah ciptaa Allah yang bukan keturunan kera seperti teori evolusi Darwin, melainkan manusia pertama [Adam] yang diciptakan Allah yang berasal dari “sari pati tanah”. Allah menciptakan manusia yang terdiri dari unsur materi dan roh, yang tentu melalui tahapan-tahapan yaitu "bermula dari penciptaan jasad yang berasal dari “sari pati tanah” [Q. S. 7:148, 11:61, 21:8, 23:12, dan 55:14]. Unsur jasad ini, mengandung makna bahwa manusia berasal dari alam dan sepenuhnya terikat dengan hukum-hukum alam atau sunnatullah. Di dalam jasad terdapat kehidupan [al-hayat] yang menggerakkan tubuh manusia berinteraksi dengan realitas alam", dan manusia mempunyai "kecenderungan [instink] dan pertumbuhan. Manusia ditiupkannya ruh Tuhan yang menjadi salah satu unsur kehadiran manusia", karena dengan "unsur ini manusia mampu mendayagunakan instrumen jasad dan hayatnya untuk menangkap dan memahami kebenaran [Q.S. 32:9, 15:29, 66:12, dan 58:22] yang kemudian akan memunculkan kesadaran akan hakekat diri dan kehidupannya". Roh yang ditiupkan pada manusia merupakan sarana untuk membangun kekuatan berpikir yang memungkinkan manusia memilki kemampuan cipta, karsa, dan rasa untuk mampu menyusun pengetahuan yang berhubungan dengan kebenaran. Unsur-unsur inilah yang membentuk kepribadian manusia [al-nafs], yaitu pribadi yang mempunyai pandangan, pemikiran, sikap, inovasi, dan daya kreasi yang kemungkinan berbeda satu dengan yang lain.

Dengan penciptaan seperti itu, manusia dibedakan dari makhluk Allah lainnya. Sebagian para ahli yang menggunakan istilah animal untuk manusia, karena “pada sebagian besar karakteristik fisiknya serupa dengan hewan, dorongan emosi untuk mempertahankan diri serta kemampuan untuk memahami dan belajar. Namun, manusia berbeda dengan hewan dari karakteristik rohnya yang membuatnya cenderung mencari Sang Penciptanya [Allah] dan menyembah-Nya serta rindu akan keutamaan idealisme yang mengantarkannya pada peringkat tertinggi dari kesempurnaan manusiawi.[5]

Manusia adalah ciptaan Allah yang sempurna, dalam al-Qur'an yang dapat dikemukakan dan dijadikan sebagai jawaban atau argumentasi yang mendasar atas pertanyaan-pertanyaan tersebut yang tersirat dalam surat al-Mukminun [23],ayat 115,sebagai berikut: أفحسبتم أنما خلقناكم عبثا وأنكم إلينا لا ترجعون artinya: " Apakah kamu sekalian mengira, bahwa Kami menciptakan kamu sia-sia tanpa hikmah dan tanggung jawab?, dan bahwa kamu semuanya tidak dikembalikan kepada kami?".[6] Ahmad Azhar Basyir, menyatakan bahwa dalam ayat ini diperoleh tiga unsur untuk memberikan pengertian tentang manusia, yaitu: (1) penegasan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah, (2) manusia diciptakan tidak sia-sia, (3) manusia akhirnya akan dikembalikan kepada Allah untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatannya selama hidup didunia. Dari surat ini, dapat disimpulkan bahwa rumusan pengertian "manusia adalah makhluk fungsional yang bertanggungjawab",[7] artinya, masing-masing manusia bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya [Q.S.6:164] ["setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya"]. Heterogenitas manusia kemudian diaktualisasikan di dalam kehidupannya yang ditentukan oleh kemampuan untuk mengubah dan mendayagunakan diri, sebagaimana tersirat dalam Qur'an (8):53 sebagai berikut:, ذلك بأن الله لم يك مغيرا نعمة أنعمها على قوم …, artinya: "yang demikian karena Allah sekali-kali tidak akan mengubah nasib suatu kaum"[8]... Selain ayat ini, dalam surat ar-Ra'd [13], ayat 11, Allah berfirman: إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم... …, artinya: "Sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka sendiri mengubah dirinya”.[9] Interpretasi dari ayat-ayat ini, menunjukkan manusia memeliki kebebasan untuk mengubah dan mendayagunakan potensi dirinya, untuk itu manusia harus berusaha dengan sungguh-sungguh dalam aktualisasi diri dan selalu berada pada jalan kebenaran ia akan senantiasa mendapatkan bimbingan-Nya. Dari penjelasan di atas, terjawablah pertanyaan tentang manusia diciptakan dan berkembang sehingga tergambar bahwa manusia memiliki potensi [daya] dan keaguman rohani yang membedakannya dengan makhluk Allah yang lain.

B. Kebudayaan

1. Hubungan Manusia dengan Kebudayaan

Dalam al-Qur’an, manusia diciptakan sebagai khalifah fil ardi dan dilengkapi Allah dengan “akal budi” dan memiliki kemampuan “cipta, karsa, dan rasa”. Dengan akal budi, manusia mampu memikirkan kosep-konsep maupun menyusun prinsip-prinsip yang diusahakan dari berbagai pengamatan dan percobaan. Dengan kemampuan cipta, karsa, dan rasa, manusia mampu menjadikan keindahan penciptaan alam semesta seluruhnya dan ciptaan kekuasaan-Nya. “Dan dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian pendengaran, penglihatan, dan hati. [Tetapi] sangat sedikit kamuu yang bersyukur”. [Q.S. al-Mu’minun, 23:78].

Allah telah mendorong manusia untuk memikirkan alam semesta, mengamati berbagai gejala alam, merenungkan berbagai ciptaan-Nya dan mengungkapkan hukum-hukum Allah di alam semesta ini. “Manusia mampu menggunakan aqalnya, yaitu menyatukan spritual [tauhid] antara rasio yang memikirkan penciptaan alam dengan al-qalb yang mengingat Tuhan dalam segala tanda-tanda kekuasaan-Nya. Aqal yang bekerja melalui kesatuan pikir dan zikir mampu mentransendir realitas. Aqal, tidak sepenuhnya hanya diartikan dengan rasio semata-mata, karena rasio [pikiran] dapat dikembangkan oleh kajian ilmu-ilmu, sedangkan zikir [al-qalb] dikembangkan oleh spritualisme agama. Maka, keduanya merupakan kesatuan pembentuk kebudayaan. Dapat dijelaskan dalam bagan di bawah ini[10]

Manusia sebagai khalifah Allah dituntut untuk mampu menciptakan piranti kehidupannya, yaitu kebutuhan rohani [ilmu, seni, budaya, sastra], kebutuhan jasmani atau fisik [sandang, pangan, perumahan, peralatan teknologi], dan kebutuhan sosial [sarana ibadah, sarana pendidikan, sarana pembangunan, angkutan umum]. Maka dengan karunia Allah, berupa akal budi, cipta, rasa, dan karsa manusia mampu menciptakan kebudayaan. Manusia dengan akal budinya mampu mengubah nature menjadi kultur, mampu mengubah alam menjadi kebudayaan.[11] Manusia tidak hanya semata-mata terbenam di tengah-tengah alam, justru manusia mampu mengutik-utik alam dan mengubahnya menurut kemauannya sehingga tercipta apa yang dinamakan kebudayaan. Seperti dikatakan C.A. Van Peursen, “manusia berlainan dengan hewan-hewan, maka manusia tidak hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu. Entah manusia menggarap ladangnya atau membuat sebuah laboratorium untuk penyelidikan ruang angkasa, entah manusia mencuci tangannya atau memikirkan suatu sistem filsafat, pokoknya hidup manusia lain dari hidup seekor hewan, ia selalu mengutik-utik lingkungan hidup alamiyahnya, dan justru itulah kita namakan kebudayaan.[12]

Dengan demikian, segala sesuatu dapat dimungkinkan untuk diciptakan oleh manusia, maka ciptaan manusia yang dinamakan kebudayaan itu mempunyai sifat, corak dan ragam yang luas dan kompleks. Ada kebudayaan yang material, yang dapat dilihat dan diraba karena wujudnya kongkrit, seperti pakaian, kancing, mesin ketik, komputer dan sebagainya. Ada pula kebudayaan immaterial, yang tidak dapat dilihat dan diraba karena wujudnya abstrak, seperti ilmu pengetahuan, kesenian, dan lain sebagainya.[13] Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan yang beraneka ragam sifat, jenis dan coraknya itu, paling sedikit mempunyai tiga wujud, yaitu: [1] Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma, peraturan dan sebagainya. [2] Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas, kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. [3] Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.14[14]

Dari uraian ini, tampak jelas bahwa hubungan antara manusia dan kebudayaan, menusia sebagai penciptanya, juga manusia sebagai pemakai kebudayaan maupun sebagai pemelihara atau sebagai perusak kebudayaan.

2. Kebudayaan

Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta budhayah, bentuk jamak dari “buddi” yang berarti budi atau akal. Jadi, kebudayaan biasa diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada seorang sarjana yang mengupas kata “budaya” sebagai perkembangan kata “budidaya” yang berarti daya dari budi [P.J. Zoetmulder, seperti dikutip Koentjaraningrat, 1982: 80]. Karena itu, kata budaya dan kebudayaan dibedakan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan kebudayaan berarti segala hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu [MM. Djoyodiguno, 1958:24]. Dalam antropologi budaya tidak ada perbedaan arti antara budaya dan kebudayaan. Dalam hal ini kata budaya hanya dipakai sebagai penyingkat saja.

Adapun kata culture yang artinya sama dengan kebudayaan, berasal dari kata Latin colere yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama mengolah tanah, atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.

Mengenai definisi kebudayaan telah banyak dikemukakan oleh para ahli ilmu sosial. Para sarjana dan ahli antropologi yang memberikan definisi tentang kebudayaan, yaitu : [1] E.B. Taylor [Inggris], dalam bukunya Primitive Culture, mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. [2] R. Lintonn, dalam bukunya The Cultural Background of Personality, mendefinisikan kebudayaan sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang unsure-unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu. [3] A.L. Kroeber dan Clyde Kluckhon, kebudaayaan adalah keseluruhan hasil perbuatan manausia yang bersumber dari kemauan, pemikiran, dan perasaannya. Karena jangkauannya begitu luas, maka Ernest Cassire, membaginya ke dalam lima aspek yang meliputi : kehidupan spiritual, bahasa dan kesusasteraan, keseniaan, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, studi tentang kebudayaan berarti studi mengenai tingkah laku manusia. Tingkah laku manusia dalam cahaya studi budaya dapat dilukiskan sebagai kerja, dan bicara. Tiga aktivitas tersebut disebut gerakan dasar karena sesuai dengan tiga syarat yang menguasai eksistensi manusia di dunia. [4] S.T. Alisahbana, kebudayaan adalah menifestasi suatu bangsa. [5] M. Hatta, kebudayaan adalah ciptaan hidup suatu bangsa. [6] Dauson, dalam bukunya, Age of the Gods, mengartikan kebudayaan sebagai cara hidup bersama [culture is common way of life]. [7] J.P.H. Duyvendak, kebudayaan adalah kumpulan dari cetusan jiwa manusia sebagai yang beraneka ragam, dan berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. [8] Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. [9] M.M. Djojodigoeno, dalam bukunya Asas-asas Sosiologi [1958], menyatakan bahwa kebudayaan atau budaya adalah dari budi, yang berupa cipta, karsa, dan rasa.

Cipta, adalah kerinduan manausia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengalamannya, yang meliputi pengalaman lahir dan batin. Hasil cipta berupa berbagai ilmu pengetahuan. Karsa, adalah kerinduan manusia untuk menginsafi tentang hal sangka paran. Dari mana maanusia sebelum lahir [=sangkan] dan kemana manusia mati [=paran]. Hasilnya berupa norma-norma keagamaan, kepercayaan. Timbulah bermacam-macam agama karena kesimpulan manusia juga bermacam-macam pula. Rasa, adalah kerinduan manusiaa akan keindahan sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati keindahan. Manusia merindukan keindahan dan menolak keburukan atau kejelekan. Buah perkembangan rasa ini terjelma dalam bentuk berbagai norma keindahan yang kemudian menghasilkan berbagai macam kesenian.

Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil cipta, rasa, karsa dan rasa manusia untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.

a. Hasil-hasil budaya manusia itu dapat dibagi menjadi dua macam:

1. Kebudayaan jasmaniah [kebudayaan fisik] yang meliputi benda-benda ciptaan maanusia, missal alat-alat perlengkapan hidup.

2. Kebudayaan rohaniah [nonmaterial] yaitu semua hasil ciptaan manusia yang tidak dapat dilihat dan diraba seperti: agama, ilmu pengetahuan, bahasa, dan seni.

b. Kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif [biologis] melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar.

Bahwa kebudayaan itu diperoleh maanusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat, akan sukarlah bagi manusia untuk membentuk

c. kebudayaan. Sebaliknya tanpa kebudayaan maanusia tidak dapat mempertahankan kehidupannya.

d. Jadi, kebudayaan itu adalah kebudayaan manusia. Hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan. Ada kebudayaan yang dapat digunakan untuk membedakan maanusia dari hewan.

Uraian di atas dimaksudkan untuk menekankan suatu kesimpulan bahwa: [1] kebudayaan adalah manifestasi dan perwujudan segala kegiatan dan aktifitas manusia dalam menjawab tantangan eksistensi hidupnya, [2] kebudayaan adalah karya dan kreasi insani, ciptaan manusia atau man-made, [3] kebudayaan adalah khas manusia, dan [4] kebudayaan adalah merupakan cirri yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.[15]

Dalam percakapan atau tulisan-tulisan, istilah kebudayaan sering dikaitkan dengan istilah peradaban [berasal dari kata Arab: Adab yang berarti kesopanan, kehalusan dan kebaikan budipekerti”]. Istilah kebudayaan sering disejajarkan dengan istilah asing kultur dan istilah peradaban biasanya disejajarkan dengan istilah asing civilization [civilisasi].

3. Peradaban

Koentjaraningrat, menyatakan masalah kebudayaan dan peradaban hanya soal istilah saja. Istilah “peradaban” biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsure-unsur kebudayaan yang “harus” dan “indah”, seperti : kesenian, ilmu pengetahuan, serta sopan santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu masyarakat dengan struktur yang kompleks. Tetapi pada sisi lain, istilah peradaban juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.[16]

Peradaban berasal dari kata adab yang artinya kesopanan, kehormatan, budi bahasa, etika, dan lain-lain. Lawan dari beradab adalah biadab, tak tahu adab dan sopan santun. Menurut ahli antropologi De Haan, peradaban merupakan lawan dari kebudayaan. Peradaban adalah seluruh kehidupan social, politik, ekonomi, dan teknologi. Jadi, peradaban adalah semua bidang kehidupan untuk kegunaan praktis. Sebaliknya, kebudayaan adalah semua yang berasal dari hasrat dan gairah yang lebih tinggi dan murni yang berada di atas tujuan praktis dalam hubungan masyarakat, misalnya musik, seni, agama, ilmu, filsafat, dan lain-lain. Jadi, lapisan atas adalah kebudayaan sedang lapisan bawah adalah peradaban


[1] Aunur Rahim Faqih dan Munthoha [editor], 2002, Pemikiran & Peradaban Islam, Cetakan II, UII Press, Yogyakarta, hlm. 1.

[2] Ahmad Azhar Basyir, 1985, Citra Manusia Muslim, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, hlm.1

[3] Muhammad an-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan..., hlm. 37.

[4] Ahmad Azhar Basyir, Citra Manusia Muslim, hlm. 1.

[5] M.Utsman Najati, 1985:244., dalam Aunur Rahim Faqih dan Munthoha, Pemikiran & Peradaban Islam, hlm. 3.

[6] Konsep Dasar Ta’dib, From: http://www.pii.4t.com/Konsep.htm.,1/8/ 2001, hlm.4.

[7] Al-Mukminin (23): 115., terj.Zaini Dahlan, Qur'an Karim dan Terjemahan Artinya, Cet.Pertama, (Yogyakarta: UII Press, 1998), hlm. 610.

[8] Ahmad Azhar Basyir, Citra Manusia Muslim, hlm. 2.

[9] Ar-Rad, Ayat 11., terj. Zaini Dahlan, Qur'an Karim dan Terjemahan Artinya, hlm. 435.

[10] Musa Asy’arie, 1999, Filsafat Islam Tentang Kebudayaan,LESFI, Yogyakarta.

[11] Faisal Ismail, 1996, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, Tiara Ilahi Press, Yogyakarta, hlm.25.

[12] Faisal Ismail, 1996, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, Tiara Ilahi Press, Yogyakarta, hlm.26.

[13] Faisal Ismail,1996,Paradigma Kebudayaan Islam,Studi Kritis dan Refleksi Historis,hal. 26.

[14] Koentjaraningrat, 1964, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, hlm. 15.

[15] Faisal Ismail, 1996, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, hlm.27

[16] Faisal Ismail, 1996, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, hlm.27-28.

Tidak ada komentar: