Jumat, 30 Januari 2009

Profil Buya Hamka

PROF. DR. BUYA HAMKA BAB I PENDAHULUAN
Hamka adalah fenomenal dalam sejarah Indonesia modern. Karyanya dibaca tidak saja di Indonesia, tetapi juga di mancanegara. Kita tidak tahu pasti sudah berapa tesis dan disertasi yang ditulis orang tentang buah pemikiran ulama besar ini, sementara beliau sendiri berkarya otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat, tanpa ijazah, tidak SD, tidak Sekolah Menengah, apalagi Perguruan Tinggi. Ajaibnya, mahasiswa S3 perguruan tinggi telah mengkaji buya Hamka untuk meraih gelar doktor. Tokoh oposisi Malaysia, Datuk Seri Anwar Ibrahim, mengaku kagum kepada buya Hamka. Itu dia katakan ketika tampil sebagai pembicara kunci pada seminar ” Memperingati 100 Tahun Kelahiran Buya Hamka ”, Selasa (8/4) di Jakarta. ”Saya kenal dengan buya Hamka sebagai sastrawan melalui perpustakaan kecil ibu saya. Semasa muda, karya buya Hamka, seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Tashawwuf Modern (1939), dan Tafsir Al-Azhar, lengkap 30 juz, mendekati 9.000 halaman. (ditulis ketika buya Hamka dipenjara 1964-1966), menjadi bacaan utama saya. Bahkan, Tafsir Al-Azhar yang menemani saya dua kali di istana perkurungan (penjara),” katanya. Ketika di penjara, Anwar mencoba menerjemahkan bagian awal Tafsir Al-Azhar ke dalam bahasa Inggris. Namun, bahasa Buya Hamka terlalu kuat, nuansa peribahasa dan iklim Melayunya begitu ”tebal” sehingga sukar baginya untuk menerjemahkan. Buya Hamka bukan sekadar penceramah agama yang bisa memukau pendengarnya. Ia seorang ulama yang disegani, seorang guru yang digugu dan ditiru, politisi yang punya kepedulian kepada masyarakat, sastrawan yang meninggalkan karya karya tulis yang dahsyat, lebih dari 100 yang masih dibaca hingga kini, dan wartawan yang pernah memimpin media yang berpengaruh. Tiga tahun sebelum wafat, menurut catatan alm. Iwan Simatupang, dalam orasi kebudayaan tanpa teks di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 11 Maret 1970, buya Hamka bertutur: ”Saya adalah pengarang! Pada mulanya, dan pada akhirnya.” Merangkai dan menganyam kata adalah pilihan hidup buya Hamka sepanjang hayat. Tidak tanggung-tanggung, ranah sastra dijelajahnya, sejarah ditelitinya, filsafat dan tasawuf dikajinya, ushul fikih dan manthiq dipelajarinya di bawah bimbingan sang ayah, Dr Haji Abdul Karim Amrullah, seorang alim berwatak keras, dan puncaknya adalah Tafsir Al-Azhar telah dipersembahkannya kepada bangsa Indonesia yang sangat dicintainya. Hamka telah menjadi milik semua orang, hampir tanpa kecuali. Buya Hamka bukan sosok ulama istana, beliau adalah ulama pejuang yang berhasil menjadi peletak dasar kebangkitan komunitas Islam modern atau kaum elit di Ibukota lewat brand Al Azhar yang pada akhirnya berhasil pula melebarkan sayap sebagai lembaga pendidikan modernis dan agamis. Sebagai manusia biasa, tentu di sana-sini buya Hamka punya kekurangan dan kelemahan, tetapi semuanya itu telah ditebusnya dengan karier hidup yang penuh makna dan karya tulis yang terus saja dikaji dan diminati orang, entah sampai kapan. Karya yang berjibun itu telah lama menjadi sumber inspirasi dan sumber kearifan bagi berbagai kalangan. Nilai profetiknya justru terasa semakin mendesak pada saat bangsa ini sedang berada pada posisi minim inspirasi dan kearifan. BAB II PEMBAHASAN Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), adalah seorang sastrawan Indonesia, ulama dan aktivis politik serta penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Dilahirkan di Sungai Batang Maninjau (Sumatera Barat) pada 17 Februari 1908 (14 Muharram 1326 H). Ayahnya ialah Ulama Islam terkenal, Dr. Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul seorang pelopor Gerakan Islah ( tajdid ), pembawa faham-faham Pembaharuan Islam di Minangkabau. Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi,abuya dalam Bahasa Arab berarti ayahku, atau seorang yang dihormati. Dalam usia 6 tahun (1914) beliau dibawa ayahnya ke Padang Panjang, sewaktu berusia 7 tahun dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya belajar mengaji Qur’an dengan ayahnya sendiri sampai khatam. Dari tahun 1916 sampai tahun 1923 buya Hamka telah belajar agama pada sekolah-sekolah “Diniyah School” dan “Sumatera Thawalib” di Padang Panjang dan di Parabek. Guru-gurunya waktu itu adalah Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid dan Zainuddin Labay. Pada waktu itu Padang Panjang ramai dengan penuntut ilmu agama Islam dibawah pimpinan ayahnya sendiri. Tahun 1924 beliau berangkat ke Yogyakarta dan mulai mempelajari pergerakan-pergerakan Islam yang mulai bergelora, buya Hamka rajin membaca dan bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal seperti HOS Tjokroaminoto, H. AR Fakhruddin, RM Suryopranoto dan iparnya sendiri AR. St. Mansur yang pada waktu itu ada di Pekalongan sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal. Kegiatan politik buya Hamka bermula pada tahun 1925, ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Panjang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian di lantik sebagai dosen Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhamdiyah, Pandang Panjang ( 1957-1958 ), setelah itu beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam Jakartadan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta ( 1951 – 1960 ), beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Mentri Agama Indonesia, tetapi meletakan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia ( Masyumi ). Di tahun 1935 dia pulang ke Padang Panjang. Waktu itulah mulai tumbuh bakatnya sebagai pengarang. Buku yang mula-mula dikarangnya bernama “Khathibul Ummah”. Diawal tahun 1927, buya Hamka berangkat dengan kemauannya sendiri ke Mekkah, sambil menjadi koresponden dari harian “Pelita Andalas” di Medan. Pulang dari Mekkah buya menulis di majalah “Seruan Islam” di Tanjung Pura (Langkat) dan pembantu dari “Bintang Islam” dan “Suara Muhammadiyah” Yogyakarta. Tahun 1928, keluarlah buku romannya yang pertama dalam bahasa Minangkabau bernama “Si Sabariyah”. Waktu itu pula buya Hamka memimpin majalah “Kemauan Zaman” yang terbit hanya beberapa nomor. Tahun 1929 terbitlah buku-bukunya “Agama dan Perempuan”, “Pembela Islam”, “Adat Minangkabau dan Agama Islam” (buku ini dibeslah polisi), “Kepentingan Tabligh”, “Ayat-Ayat Mi’raj” dan lain-lain. Tahun 1930 buya Hamka mulai mengarang dalam surat kabar “Pembela Islam” Bandung dan mulai berkenalan dengan M. Natsir, A. Hassan dan lain-lain. Ketika pindah mengajar ke Makasar diterbitkannya majalah “Al-Mahdi”. Buya Hamka kembali ke Sumatera Barat tahun 1935, dan tahun 1936 pergilah buya Hamka ke Medan mengeluarkan mingguan Islam yang mencapai puncak kemasyhuran sebelum perang, yaitu “Pedoman Masyarakat”. Majalah ini dipimpinnya setelah setahun dikeluarkan, mulai tahun 1936 sampai 1943, yaitu seketika pasukan tentara Jepang masuk. Di zaman itulah banyak terbit tulisan-tulisan buya Hamka di “Pedoman Masyarakat dan ada pula yang di tulis terlepas (cerita bersambung). Pada waktu itu pula keluar romannya “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, Tahun 1977, Asrul Sani memfilmkan roman tadi. Roman pertamanya merupakan kisah nyata yang ditulisnya di dalam bahasa Minang berjudul Si Pulai, menyusul pula “Merantau ke Deli”, “Teusir”, “Keadilan Ilahi”, dan lain-lain. Karangan buya Hamka dalam hal agama dan filsafat adalah “Tasauf Moderen”, “Falsafat Hidup”, “Lembaga Hidup”, “Lembaga Budi”, “Pedoman Muballigh Islam”, dan lain-lain. Pada zaman Jepang dicobanya menerbitkan “Semangat Islam” dan “Sejarah Islam di Sumatera”. Kegiatan politik buya Hamka bermula pada tahun 1925, ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya didalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, buya Hamka diangkat menjadi Ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Tahun 1955 Beliau diangkat menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Keberadaan Masyumi kemudian dilarang oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966 buya Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena khotbahnya pada hari raya di Masjid Agung Al-Azhar, yang mengatakan bahwa Islam dalam bahaya besar sebab komunis sudah leluasa, karena diberi kesempatan. Semasa dalam tahanan beliau mulai menulis Tafsir Al-Azhar yang lengkap 30 juz mendekati 9.000 halaman merupakan karya ilmiah terbesarnya. Tetapi ketika mendengar berita meninggalnya Presiden Soekarno, air matanya menitik. Setelah sholat jenazah, ia berkata kepada jenazah Soekarno, “Aku telah doakan engkau dalam sholatku supaya Allah memberi ampun atas dosamu. Aku bergantung kepada janji Allah bahwa walaupun sampai ke lawang langit timbunan dosa, asal memohon ampun dengan tulus, akan diampuni-Nya”. Setelah pecah Revolusi, beliau pindah ke Sumatera Barat. Disini beliau mengeluarkan buku-buku yang menggunjangkan. “Revolusi Fikiran”, “Revolusi Agama”, “Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi”, “Negara Islam”, “Sesudah Naskah Renville”, Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman”, “Dari Lembah Cita-Cita”, “Merdeka”, “Islam dan Demokrasi”, “Dilamun Ombak Masyarakat”, dan “Menunggu Beduk Berbunyi”. Tahun 1950 beliau pindah ke Jakarta. Di Jakarta keluar buku-bukunya yang berjudul “Ayahku”, “Kenang-Kenangan Hidup”, Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad”, “Urat Tunggang Pancasila”. Buya Hamka juga menulis buku tentang riwayat perjalanan ke negara-nagera Islam : “Di Tepi Sungai Nyl”, “Di Tepi Sungai Dajlah”, “Mandi Cahaya di Tanah Suci”, “Empat Bulan di Amerika”, dan lain-lain. Kian lama kian jelaslah coraknya sebagai pengarang, pujangga dan failasof Islam, diakui oleh lawan dan kawannya. Dengan keahliannya itu, pada tahun 1952 beliau diangkat oleh Pemerintah menjadi anggota “Badan Pertimbangan Kebudayaan” dari Kementerian PP dan K dan menjadi Guru Besar pada Perguruan Tinggi Islam dan Universitas Islam di Makassar dan menjadi penasihat pada Kementerian Agama. Tahun 1955 buya Hamka mengeluarkan buku-bukunya berjudul “Pelajaran Agama Islam”, “Pandangan Hidup Muslim”, “Sejarah Hidup Jamaluddin Al Afghany dan “Sejarah Ummat Islam”. Selain keasyikannya mempelajari “Kesusasteraan Melayu Klasik”, buya Hamka juga bersungguh-sungguh menyelidiki Kesusasteraan Arab, karena bahasa asing yang dikuasainya hanyalah semata-mata bahasa Arab. Drs. Slamet Mulyono seorang ahli kesusasteraan Indonesia menyebut buya Hamka sebagai “hamzah Fanshuri Zaman Baru”. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti Karena menghargai jasa-jasanya dalam penyiaran Islam dengan bahasa Indonesia yang indah itu, maka pada permulaan tahun 1959 majelis tinggi University Al Azhar Kairo memberikan gelar Ustaziyah Fajhriyah ( Doctor Honoris Causa ) dan tahun 1974 Universitas Kebangsaan Malaysia juga memberikan gelar dalam kesusastraan kepada buya Hamka, Sejak itu berhaklah beliau memakai titel “Dr”di pangkal namanya serta gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia dan gelar Tuanku Syaikh, gelar pusaka yang diberikan ninik mamak dan Majelis Alim-Ulama negeri Sungai Batang - Tanjung Sani, 12 Rabi’ul Akhir 1386 H/ 31 Juli 1966 M, Dan pada tahun tujuh puluhan keluar pula buku-bukunya, ,,Soal jawab”(tentang agama islam), ,,Muhamadiyah di Minangkabau”, ,,Kedudukan Perempuan didalam Islam”, “Do’a-do’a Rasulullah”, dan lain-lain. Pada tahun 1953 buya Hamka dipilih sebagai penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Bulan Juli tahun 1975 Musyawarah Alim Ulama seluruh Indonesia dilangsungkan, buya Hamka diberi kepercayaan untuk duduk sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan dilantik oleh Menteri Agama Prof. Dr. Mukti Ali pada tanggal 26 Juli 1975 bertepatan dengan 17 Rajab 1395, Berbagai pihak waktu itu sempat sangsi, bila itu diterima maka ia tidak akan mampu menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam yang saat itu berlangsung dengan sangat massif. Namun, buya Hamka menepis keraguan itu dengan mengambil langkah memilih masjid Al-Azhar sebagai pusat kegiatan MUI dari pada berkantor di Masjid Istiqlal. Istilahnya yang terkenal waktu itu adalah kalau tidak hati-hati nasib ulama itu akan seperti kue bika , yakni bila MUI terpanggang dari atas (pemerintah) dan bawah (masyarakat) terlalu panas, maka situasinya akan menjadi sulit. Bahkan MUI bisa akan mengalami kemunduran serius. Usaha Hamka untuk membuat independen lembaga MUI menjadi terasa sangat kental ketika pada awal decade tahun delapan puluhan, lembaga ini berani melawan dengan mengeluarkan fatwa mengenai persoalan perayaan Natal bersama. Buya Hamka menyatakan haram bila ada umat Islam mengikuti perayaan keagamaan itu. Adanya fatwa itu kontan saja membuat geger publik. Apalagi terasa waktu itu arus kebijakan pemerintah tengah mendengungkan isu toleransi. Berbagai instansi waktu itu ramai mengadakan perayaan natal. Bila ada orang Islam yang tidak bersedia ikut merayakan natal maka mereka dianggap orang berbahaya, fundamentalis, dan anti Pancasila. Umat Islam pun merasa resah. Keadaan itu kemudian memaksa MUI mengeluarkan fatwa. Risikonya buya Hamka pun mendapat kecaman. MUI ditekan dengan gencarnya melalui berbagai pendapat di media massa yang menyatakan bahwa keputusannya itu akan mengancam persatuan negara. Buya Hamka yang waktu itu berada dalam posisi sulit, antara mencabut dan meneruskan fatwa itu, akhirnya kemudian memutuskan untuk meletakkan jabatannya. Ia mundur dari MUI pada 21 Mei 1981. Menikah dengan Hajjah Siti Raham dikaruniai 10 orang anak. Setelah Siti Raham meninggal beberapa tahun, ia menikah dengan Hajjah Siti Chadidjah atas persetujuan dan permintaan anak-anaknya pada tahun 1973. Karena dianggap mempunyai pengetahuan yang luas, memiliki pribadi lembut namun berkarakter, sosok halus tapi berprinsip dan tokoh modernis yang kharismatik beliau tempat orang bertanya. Dakwahnya sejuk menyirami dahaga spiritual umat. Sering pula beliau diminta mengakad-nikahkan pasangan yang mau melayari bahtera rumah tangga. Rumahnya selalu penuh tamu. Acara dakwahnya di radio dan televisi (TVRI saat itu) selalu ditunggu jutaan orang. Tokoh Islam ini termasuk orang terdepan dalam sejarah perkembangan Islam abad modern di Indonesia. Namun sayangnya, saat ini tak banyak generasi muda yang mengenal sosoknya yang fenomenal, Juga tak banyak generasi muda yang mengkaji ketokohannya. Sebaliknya, nama buya Hamka malah makin berkibar di negeri tetangga, terutama Malaysia dan Singapura. Museum buya Hamka yang diresmikan pada 11 November 2001 oleh H. Zainal Bakar, Gubernur Sumatera Barat masa itu, berlokasi di tepi Danau Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatra Barat ini lebih banyak dikunjungi wisatawan dari Malaysia, Singapura atau Brunai Darussalam ketimbang wisatawan lokal. Sayang, memang, bila museum ini ternyata tak begitu menarik hati masyarakat Indonesia. Atau barangkali memang karena kurangnya promosi tentang keberadaan museum itu sendiri, seperti juga kesan kurangnya promosi dan informasi tentang daerah wisata di Sumatera Barat. Penyakit kencing manis, gangguan jantung, radang paru-paru, dan gangguan pada pembuluh darah membuat Buya harus dirawat di Bagian Perawatan Intensif (ICU) RS Pusat Pertamina, Jakarta sejak 21 Juli 1981. Sastrawan dan ulama terkenal serta berpengaruh di Asia Tenggara ini, akhirnya meninggal dunia pada hari Jumat pada 24 Juli 1981 pukul 10.41. Jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah kusir, setelah disembahyangkan di Masjid Al-Azhar, Jakarta. Tokoh besar itu telah tiada, namun karyanya dinikmati hingga kini oleh umat Islam. Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Buya Hamka wafat meninggalkan nama besar dan karya-karya monumental. Sebagai bukti penghargaan yang tinggi dalam bidang keilmuan, Persyarikatan Muhammadiyah kini telah mengabadikan namanya pada sebuah perguruan tinggi yang berada di Yogyakarta dan Jakarta: Universitas Hamka (UHAMKA). Akhir tahun 2007 Sebuah panitia yang dibentuk oleh Universitas Prof Dr Hamka Jakarta telah menyelenggarakan beberapa kegiatan penting dalam rangka 100 tahun Buya Hamka (dihitung sejak tanggal lahirnya 17 Februari 1908), di Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan, meluncurkan buku 100 tahun buya Hamka .Mudah-mudahan peringatan 100 tahun Hamka dapat menegaskan kembali peran dan tanggung jawab agama terhadap perubahan sosial. BIOGRAFI HAJI Abdul Malik Karim Amrullah (atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, yaitu singkatan namanya), lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat. Beliau bukan hanya dikenal sebagai ulama (dalam artian sempit, yaitu, yang mengusai ilmu-ilmu agama), namun juga sejarawan, sastrawan/pujangga bahkan politikus. Intelektualitas beliau semakin tidak diragukan lagi dengan banyaknya karya yang dihasilkannya. Belakangan dia diberikan sebutan “Buya”, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata “abi”, “abuya” dalam bahasa Arab, yang berarti “ayahku”, atau “seseorang yang dihormati”. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai “Haji Rasul”, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo. Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta, seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal. Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padangpanjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Prof. Dr. Hamka, yang akrab disapa dengan Buya Hamka, adalah sangat menguasai banyak ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, Dalam bidang Sastra kita mengenal beberapa karya beliau seperti “Di Bawah Lindungan Ka’bah” dan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijcht”. Belum lagi karya-karya puisi beliau. Dalam bidang sejarah, khususnya sejarah Islam di nusantara, beliau menulis buku “Sejarah Kerajaan-Kerajaan Islam Nusantara”. Dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan, beliau membuat kitab tafsir yang kemudian kita kenal dengan “Tafsir Al-Azhar”, sesuatu yang nampaknya masih sangat jarang dilakukan oleh para ulama atau intelektual muslim di Indonesia. Selain dalam bidang tafsir, beliau juga menulis berbagai karya keislaman dalam berbagai bidang, yaitu “Pelajaran Agama Islam”, “Tasawuf Modern”, “Perempuan Dalam Pandangan Islam”, “Falsafah Hidup”, “Lembaga Budi”, dan “Lembaga Hidup”. Belakangan kita juga dapat menemukan karya-karya tentang beliau, seperti “Teologi Islam Dalam Pandangan Buya Hamka” karya Yunan Yusuf, atau kumpulan-kumpulan ceramah beliau yang dibukukan, baik ceramah-ceramah shalat Jum’at beliau maupun ceramah-ceramah beliau dalam shalat id. a. BERDAKWAH Setelah Konstituante dan Masyumi di bubarkan, Hamka memilih aktif di bidang dakwah Islamiyah. Hamka pernah menjadi imam Masjid Agung Al- Azhar Kebayoran Jakarta, bersama KH Faqih Umar ( Mentri Agama dalam kabinet wilopo 1952 ), Hamka medirikan majalah Bulanan Panji Masyarakat yang isinya “ Menitik beratkan kepada soal-soal kebudayaan dan pengetahuan agama Islam. Hamka juga menjadi ketua umum pertama MUI. HAMKA adalah tokoh ulama besar dan pendakwah tersohor yang pernah di lahirkan untuk abad ke dua puluh di Nusantara ini. Kewalian dan sifat keramahan maknawiyah yang dimilikinya, mampu menyentuh hati dhamir ribuan insan yang mendengar kata bicaranya yang lunak dan menyegarkan. Bahwa keistimewaan kharamah maknawiyah antara lain ialah kata-katanya memberi kesan pada hati pendengar hingga mendorong orang membuat perubahan pada jalan kebaikan. Kekuatan minda dan kefasihan lidahnya untuk berdakwah dengan susun kata yang memukau jarang di milki oleh kebanyakan pendakwah. Kalau ada kisah tentang burung boleh berhenti terbang diudara apabila mendengar kemerduan bacaan kitab Zabur oleh Nabi Daud As, maka Buya Hamka juga mempunya magnet yang meruntun jiwa pendengarnya untuk melabuhkan punggung mendengar sebentar ceramah dakwahnya. Hati yang keras bisa terlunak dan terpegun. Memang Allah memberi keistimewaan besar kepadanya yaitu senjata sulit berdakwah berdakwah dengan lidahnya. Di negara kita Buya Hamka sering berkunjung dan memenuhi undangan untuk berceramah termasuk di kaca TV hingga awal tahun 1980. Beliau sering di undang menyertai muktamar Islam peringatan antara bangsa dan pernah berdakwah hingga ke benua Erofah dan Amerika Serikat. Kata Dr. H. Ibnu Sutowo, hampir kesemua perjalanan hidupnya di dunia ini di maksudkan untuk agama. Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia. b. POLITIK Kegitan Politik HAMKA bermula pada tahun 1925 beliau menjadi anggota partai politik sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia. Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar, seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam. Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli. c. KARYA-KARYA HAMKA Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti, 1. Anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; 2. Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan 3. Gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia. Untuk mengenal beliau bukan hanya dapat dilihat dari buku-buku karya beliau, melainkan juga dari ornamen yang dihasilkan beliau, yaitu Masjid Agung Al-Azhar itu sendiri. Selain itu, kita juga dapat memahami beliau dalam kancahnya dalam dunia politik, terutama ketika beliau berkecimpung dalam Majelis Ulama Indonesia. Kompetensi beliau yang demikian luas cakupannya ini masih tergolong langka di negeri ini. Peminat sejarah sekaligus salah satu pelaku sejarah modern Indonesia berperan memformulasikan ide-ide visioner bangsa Indonesia. Syaikh Mahmoud Syaltout, Syaikh Jami Al-Azhar yang memberikan nama Al-Azhar pada Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta, telah memberikan penghargaan atas perjuangan Hamka dalam menegakkan kesatuan kaum muslimin di Asia Timur dan memancangkan tonggak untuk kekokohan Islam. Namun sayangnya, pemikiran dan karya-karya buya Hamka kelihatannya seperti tenggelam begitu saja dalam khasanah intelektual Islam di Indonesia, padahal dia adalah ulama besar. John F. Kennedy pernah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarahnya sendiri. Dengan kata lain, bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menggali khasanahnya sendiri. Keilmuad dan ketokohan yang ada pada beliau mendorong beberapa buah universitas mengambilnya sebagai pensyarah dalam bidang agama dan falsafah. Antara universitas itu adalah universitas Islam Jakarta, Universitas Muhamadiyah Sumatra Barat, Universitas Islam Pemerintah di Jogyakarta dan Universitas Islam Makasar. Bagi mengiktiraf keilmuannya, Universitas Al Azhar Mesir telah menganugerahkan Doktor Kehormatan pada tahun 1958 dan beliau turut menerima ijazah Doktor Persuratan UKM pada tanggal 7 Juni 1974. Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan saja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai. Ironisnya, pembangunan museum untuk mengenang jasa-jasanya dibangun dan dirawat oleh peziarah negeri Jiran. Adapun karya – karya nya terlampir . d. AKTIVITAS LAINNYA 1. Memimpin Majalah Pedoman Masyarakat, 1936-1942 2. Memimpin Majalah Panji Masyarakat dari tahun 1956 3. Memimpin Majalah Mimbar Agama (Departemen Agama), 1950-1953 4. Tafsir Al-Azhar online 5. E-book Buya Hamka 6. E-book Jalan Istiqomah sang legenda Buya Hamka BAB III KESIMPULAN Buya Hamka adalah seorang ulama yang memiliki ‘izzah, tegas dalam aqidah dan toleran dalam masalah khilafiyah. Beliau sangat peduli terhadap urusan umat Islam, sehingga tidak mengherankan, di dalam dakwahnya, baik berupa tulisan maupun lisan, ceramah, pidato atau khutbah selalu menekankan tentang ukhuwah Islamiyah, menghindari perpecahan dan mengingatkan umat untuk peduli terhadap urusan kaum muslimin. Beliau meninggalkan warisan dan pelajaran yang sangat berharga untuk ditindak lanjuti oleh genarasi Islam, yaitu istiqamah dalam berjuang, menjaga persatuan umat dan peduli terhadap urusan kaum Muslimin. Sepanjang hidupnya, Hamka terkenal sebagai ulama yang produktif menulis. Tidak kurang dari 118 buku telah di selesaikannya. Jumlah itu belum termasuk karangan, makalah dan artikel yang di tulisnya untuk berbagai media masa. Salah seorang pengagum Hamka, mantan perdana mentri Malaysia Tun Abdul Razak mengungkapkan, Hamka bukan hanya milik Indonesia, tetapi juga kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara. DAFTAR PUSTAKA 1. Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 2. Tasauf Modern, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta 1983 3. Sumber lain dari internet 4. Mengenang 100 Tahun Buya Hamka Lampiran Karya – Karya Buya Hamka 1. Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab. 2. Si Sabariah ( 1928 ) 3. Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929. 4. Adat Minangkabau dan agama Islam (1929). 5. Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929). 6. Kepentingan melakukan tabligh (1929). 7. Hikmat Isra’ dan Mikraj. 8. Arkanul Islam (1932) di Makassar. 9. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka. 10. Majallah ‘Tentera’ (4 nomor) 1932, di Makassar. 11. Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar. 12. Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934. 13. Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka. 14. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka. 15. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka. 16. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi. 17. Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940. 18. Tuan Direktur 1939. 19. Dijemput mamaknya,1939. 20. Keadilan Ilahy 1939. 21. Tashawwuf Modern 1939. 22. Falsafah Hidup 1939. 23. Lembaga Hidup 1940. 24. Lembaga Budi 1940. 25. Majallah ‘SEMANGAT ISLAM’ (Zaman Jepun 1943). 26. Majallah ‘MENARA’ (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946. 27. Negara Islam (1946). 28. Islam dan Demokrasi,1946. 29. Revolusi Pikiran,1946. 30. Revolusi Agama,1946. 31. Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946. 32. Dibantingkan ombak masyarakat,1946. 33. Di dalam Lembah cita-cita,1946. 34. Sesudah naskah Renville,1947. 35. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947. 36. Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar. 37. Ayahku,1950 di Jakarta. 38. Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950. 39. Mengembara Dilembah Nyl. 1950. 40. Ditepi Sungai Dajlah. 1950. 41. Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950. 42. Kenangan-kenangan hidup 2. 43. Kenangan-kenangan hidup 3. 44. Kenangan-kenangan hidup 4. 45. Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950. 46. Sejarah Ummat Islam Jilid 2. 47. Sejarah Ummat Islam Jilid 3. 48. Sejarah Ummat Islam Jilid 4. 49. Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950. 50. Pribadi,1950. 51. Agama dan perempuan,1939. 52. Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang. 53. 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950). 54. Pelajaran Agama Islam,1956. 55. Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952. 56. Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1. 57. Empat bulan di Amerika Jilid 2. 58. Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor 59. Honoris Causa. 60. Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM. 61. Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh 62. Pustaka Panjimas, Jakarta. 63. Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta. 64. Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang. 65. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970. 66. Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang. 67. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang. 68. Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968. 69. Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah). 70. Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah). 71. Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970. 72. Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat. 73. Himpunan Khutbah-khutbah. 74. Urat Tunggang Pancasila. 75. Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974. 76. Sejarah Islam di Sumatera. 77. Bohong di Dunia. 78. Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang). 79. Pandangan Hidup Muslim,1960. 80. Kedudukan perempuan dalam Islam,1973. 81. [Tafsir Al-Azhar] Juzu’ 1-30, ditulis pada masa beliau dipenjara oleh Sukarno.
Baca Selengkapnya....