Kamis, 26 Februari 2009

ORANG BERIMAN TIDAK MENDAPATKAN FAEDAH YANG LEBIH BAIK SESUAI TAQWA, SELAIN ISTRI YANG SHOLEHAH JIKA DIPERINTAH MELAKSANAKANNYA, JIKA DIPANDANG MENYENANGKAN JIKA DIBERI MEMBALAS KEBAIKAN DAN JIKA DITINGGALKAN PERGI DIA MEMELIHARA KEHORMATAN DAN MENJAGA HARTANYA HR.IBNU MAJAH "ALLAH MENGANGKAT DERAJAT ORANG-ORANG YANG BERIMAN DIANTARA KAMU, ORANG-ORANG YANG BERPENGETAHUAN (AL-MUJADAH;11) "BARANG SIAPA YANG INGIN MENGUASAI DUNIA, MAKA KUASAILAH ILMU DAN BARANG SIAPA YANG INGIN KEBAHAGIAAN AKHERAT, MAKA KUASAILAH ILMU DAN BARANG SIAPA YANG INGIN KEDUANYA KUASAILAH ILMU (AL-HADISH) RASULULLAH SAW, BERSABDA, JANGANLAH ADA DI ANTARA KALIAN ORANG SEPERTI ANJING YANG BURUK, JIKA TAKUT IA BEKERJA, JANGAN PULA MENJADI SEPERTI PEKERJA YANG BURUK, JIKA TIDAK DI BERI UPAH IA TIDAK BEKERJA. ALLAH BERFIRMAN “ DI ANTARA MANUSIA ADA ORANG YANG MENYEMBAH ALLAH DENGAN DENGAN BERADA DI TEPI, JIKA IA MEMPEROLEH KEBAIKAN TETAPLAH IA DALAM KEADAAN ITU, AKAN TETAPI JIKA DI TIMPA BENCANA, BERBALIKLAH IA KE BELAKANG ( Al-Hajj ( 22 : 11, 63 : 11 ). DAN ALLAH SEKALI-KALI TIDAK AKAN MENANGGUHKAN ( KEMATIAN ) SESEORANG APABILA DATANG WAKTU KEMATIANNYA, DAN ALLAH MAHA MENGETAHUI APA YANG KAMU KERJAKAN . Baca Selengkapnya....

POLIGAMI, MONOGAMI DAN PERCERAIAN KONTEMPORER

Oleh :

MARWI ARGASASMITA

A. PENDAHULUAN

Salah satu ajaran yang penting dalam Islam adalah pernikahan (perkawinan). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Alquran terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan dimaksud ( al – Baqi, 1987: 332-333 dan 718).

Nikah artinya menghimpun atau mengumpulkan. Salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT terhadap hamba-Nya.

Oleh karena itu, dalam pembahasan singkat berikut akan dijelaskan secara global tentang (1) konsep pernikahan dalam Al-quran dan (2) bagaimana kaum muslimin mengembangkan konsep untuk menjaga dan melanggengkan pernikahan tersebut yang tertuang dalam perundang-undangan mereka dewasa ini.

Pengertian

Dalam Al-Quran ada dua kata kunci yang menunjukkan konsep pernikahan, yaitu zawwaja dan kata derivasinya berjumlah lebih kurang dalam 20 ayat dan nakaha dan kata derivasinya sebanyak lebih kurang dalam 17 ayat (Al-Baqi 1987: 332-333 dan 718).Yang dimaksud dengan nikah dalam konteks pembicaraan ini adalah ikatan (aqad )perkawinan ( al – Asfihani, Tanpa Tahun : 220 dan 526).

Perlu pula dikemukakan bahwa Ibnu Jini pernah bertanya kepada Ali mengenai arti ucapan mereka nakaha al-mar ah, Dia menjawab : “orang-orang Arab menggunakan kata nakaha dalam konteks yang berbeda, sehingga maknanya dapat dipisahkan secara halus, agar tidak menyebabkan kesimpangsiuran. Kalau mereka mengatakan nakaha fulan fulanah, yang dimaksud adalah ia menjalin ikatan perkawinan dengan seorang wanita. Akan tetapi apabila mereka mengatakan nakaha imraatahu, yang mereka maksudkan tidak lain adalah persetubuhan (Razi, Juz VI : 59). Lebih jauh lagi al – Karkhi berkata bahwa yang dimaksud dengan nikah adalah ikatan perkawinan, bukan persetubuhan. Dengan demikian bahwa sama sekali tidak pernah disebutkan dalam Al-Quran kata nikah dengan arti wati’, karena Al – Quran menggunakan kinayah. Penggunaan kinayah tersebut termasuk gaya bahasa yang halus ( al-Sabuni, Tanpa Tahun, I : 285).

Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan ulama fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda. Ulama Mazhab Syafi’i mendefinisikannya dengan “akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu”. Sedangkan ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “akad yang mempaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang lelaki dan seorang wanita selama tidak ada halangan syara’.

Definisi jumhur ulama menekankan pentingnya menyebutkan lafal yang dipergunakan dalam akad nikah tersebut, yaitu harus lafal nikah, kawin atau yang semakna dengan itu. Dalam definisi ulama Mazhab Hanafi, hal ini tidak diungkapkan secara jelas, sehingga segala lafal yang mengandung makna halalnya seorang laki-laki dan seorang wanita melakukan hubungan seksual boleh dipergunakan, seperti lafal hibah. Yang dapat perhatian khusus bagi ulama Mazhab Hanafi, disamping masalah kehalalan hubungan seksual, adalah tidak adanya halangan syara’ untuk menikahi wanita tersebut. Misalnya. Wanita itu bukan mahram (mahram atau muhrim) dan bukan pula penyembah berhala. Menurut jumhur ulama, hal-hal seperti itu tidak dikemukakan dalam definisi mereka karena hal tersebut cukup dibicarakan dalam persyaratan nikah.

Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M), ahli hukum Islam dari Universitas al-Azhar, berpendapat bahwa perbedaan kedua definisi di atas tidaklah bersifat prinsip. Yang menjadi prinsip dalam definisi tersebut adalah nikah itu membuat seorang lelaki dan seorang wanita halal melakukan hubungan seksual. Untuk mengkompromikan kedua definisi, Abu Zahrah mengemukakan definisi nikah, yaitu “akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita, saling tolong menolong di antara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya”. Hak dan kewajiban yang dimaksudkan Abu Zahrah adalah hak dan kewajiban yang datangnya dari asy-Syar’I-Allah SWT dan Rasul-Nya ( Tim,1996, 4: 1329).

Tujuan Pernikahan

Salah satu ayat yang biasanya dikutip dan dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan tujuan pernikahan dalam Al-Quran adalah (artinya ) “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang …” (Q.S.30:21 ).

Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya.

Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah tangga sakinah, sebagaimana disyaratkan Allah SWT dalam surat ar-Rum (30) ayat 21 di atas. Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dala ayat tersebut, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam , yaitu sakinah (as-sakinah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi.

Dari suasana as-sakinah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al-mawadah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para mufasir mengatakan bahwa dari as-sakinah dan al-mawadah inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu keturunan yang sehat dan penuh berkat dari Allah SWT, sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih suami istri dan anak-anak mereka ( Al-Qurtubi,1387, XIV: 16-17 dan Al-Qasimi, Tanpa Tahun, XIII : 171-172).

Hikmah Nikah

Ulama fiqh mengemukakan beberapa hikmah perkawinan, yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Menyalurkan naluri seksual secara sah dan benar. Secara alami, naluri yang sulit dibendung oleh setiap manusia dewasa adalah naluri seksual. Islam ingin menunjukkan bahwa yang membedakan manusia dengan hewan dalam menyalurkan naluri seksual adalah melalui perkawinan, sehingga segala akibat negatif yang ditimbulkan oleh penyaluran seksual secara tidak benar dapat dihindari sedini mungkin. Oleh karena itu, ulama fiqh menyatakan bahwa pernikahan merupakan satu-satunya cara yang benar dan sah dalam menyalurkan naluri seksual, sehingga masing-masing pihak tidak merasa khawatir akan akibatnya. Inilah yang dimaksudkan Allah SWT dalam firman-Nya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciftakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang …” (QS.30:21). Berkaitan dengan hal itu, Rasulullah SAW bersabda : “Wanita itu (dilihat) dari depan seperti setan (menggoda), dari belakang juga demikian. Apabila seorang lelaki tergoda oleh seorang wanita, maka datangilah (salurkanlah kepada) istrinya, karena hal itu akan dapat menentramkan jiwanya” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan at-Tirmizi).

2 Cara paling baik untuk mendapatkan anak dan mengembangkan keturunan secara sah. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda: “Nikahilah wanita yang bisa memberikan keturunan yang banyak, karena saya akan bangga sebagai nabi yang memiliki umat yang banyak dibanding nabi-nabi lain di akhirat kelak” (HR. Ahmad bin Hanbal).

3. Menyalurkan naluri kebapakan atau keibuan . Naluri ini berkembang secara bertahap, sejak masa anak-anak sampai masa dewasa. Seorang manusia tidak akan merasa sempurna bila tidak menyalurkan naluri tersebut.

4.Memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka memelihara dan mendidik anak, sehingga memberikan motivasi yang kuat bagi seseorang untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawab.

5.Membagi rasa tanggung jawab antara suami dan istri yang selama ini dipikul masing-masing pihak.

6.Menyatukan keluarga masing-masing pihak, sehingga hubungan silaturrahmi semakin kuat dan terbentuk keluarga baru yang lebih banyak.

7.Memperpanjang usia. Hasil penelitian masalah-masalah kependudukan yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1958 menunjukkan bahwa pasangan suami istri mempunyai kemungkinan lebih panjang umurnya dari pada orang-orang yang tidak menikah selama hidupnya.

Oleh karena itu, ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa untuk memulai suatu perkawinan ada beberapa langkah yang perlu dilalui dalam upaya mencapai cita-cita rumah tangga sakinah. Langkah-langkah itu dimulai dari peminangan (khitbah) calon istri oleh pihak laki-laki dan melihat calon istri; sebaliknya, pihak wanita juga berhak melihat dan menilai calon suaminya itu dari segi keserasiannya (kafaah). Masih dalam pendahuluan perkawinan ini, menurut ulama fiqh, Islam juga mengingatkan agar wanita yang dipilih bukan orang yang haram dinikahi (mahram). Dari berbagai rangkaian pendahuluan perkawinan ini, menurut Muhammad Zaid al-Ibyani (tokoh fiqh dari Bagdad), Islam mengharapkan dalam perkawinan nanti tidak muncul kendala yang akan menggoyahkan suasana as-sakinah, al-mawadah, dan ar-rahmah.

Hukum Perkawinan Negara Muslim

Jika undang-undang hukum keluarga di dunia muslim yang diberlakukan pada abad ke-20 dicermati, ternyata masalah pokok yang mendapat perhatian dalam rangka mendukung kelanggengan kehidupan perkawinan dengan suasana sakinah, mawaddah, dan rahmah tersebut di atas, yaitu masalah batas umur untuk kawin (menikah) masalah peranan wali dalam nikah, masalah pendaftaran dan pencatatan perkawinan, masalah maskawin dan biaya perkawinan, masalah poligami dan hak-hak isteri dalam poligami, masalah nafkah isteri dan keluarga serta rumah tempat tinggal, masalah talak dan cerai di muka pengadilan, masalah hak-hak wanita yang dicerai suaminya, masalah masa hamil dan akibat hukumnya, masalah hak dan tanggung jawab pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian (Mahmood,1987:12).

1.Masalah batas umur untuk kawin (nikah)

Pasal 7 ayat (1) Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Sedangkan Hukum Keluarga di Mesir menjelaskan bahwa perkawinan hanya dapat diizinkan jika laki-laki berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun, demikian juga dalam Hukum Keluarga di Pakistan dinyatakan bahwa perkawinan dapat dilakukan jika laki-laki sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun (Mahmood, 1987 :270). Batas umur perkawin untuk Indonesia di atas, jika dibandingkan dengan batas umur kawin baik di Mesir maupun Pakistan sebenarnya sama, kecuali untuk laki-laki relatif tinggi.

Dalam tingkat pelaksanaan, batas umur kawin bagi wanita yang sudah rendah itu masih belum tentu dipatuhi sepenuhnya. Untuk mendorong agar orang kawin di atas batas umur terendahnya, sebenarnya pasal 6 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 telah melakukannya dengan memberikan ketentuan bahwa untuk melaksanakan perkawinan bagi seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua. Akan tetapi dalam kenyataan justru sering pihak orang tua sendiri yang cenderung menggunakan batas umur terendah itu atau bahwa lebih rendah lagi. Di Mesir, meskipun perkawinan yang dilakukan oleh orang yang belum mencapai batas umur terendah itu sah juga, tetapi tidak boleh didaftarkan(Mudzhar,1998: 179).

Di anak benua India, pada tahun 1929 diterbitkan suatu undang-undang untuk mencegah perkawinan anak di bawah umur (Child Marriage Restraint Act, 1929). Undang-undang ini menetapkan larangan mengawinkan anak perempuan sebelum menmcapai usia 14 tahun dan anak lelaki sebelum mencapai usia 16 tahun. Undang-undang ini juga menetapkan sanksi hukuman atas pelanggaran ketentuan-ketentuannya. Pencegahan perkawinan anak di bawah umur yang belum mencapai usia tersebut di anak benua India dipertegas dengan memberikan khiyar fasakh setelah dewasa kepada anak di bawah umur itu baik yang lelaki maupun perempuan apabila mereka dikawinkan oleh wali mereka sebelum mencapai usia tersebut di atas (Siraj,1993:107).

Tidak diragukan bahwa pemerataan pendidikan, kondisi sosial ekonomi dan bentuk-bentuk pengarahan masyarakat memberi andil dalam mengurangi keinginan untuk melakukan perkawinan di bawah umur di Mesir dan Pakistan. Akan tetapi beberapa lingkungan sosial tertentu masih melakukan perkawinan seperti itu karena pertimbangan-pertimbangan dan kepentingan-kepentingan yang mereka asumsikan. Untuk memenuhi ketentuan-ketentuan guna mendapatkan perlindungan hukum mereka cukup pergi ke dokter untuk memperoleh surat keterangan bahwa anak-anak tersebut telah mencapai usia yang dikehendaki oleh hukum (Siraj,1993:107).

2.Masalah pencatatan perkawinan.

Masalah pencatatan nikah ini menempati terdepan dalam pemikiran fiqh modern, mengingat banyaknya masalah praktis yang timbul dari tidak dicatatnya perkawinan yang berhubungan dengan soal-soal penting seperti asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Timbulnya penertiban administrasi modern dalam kaitan ini telah membawa kemudahan pencatatan akad dan transaksi –tarnsaksi yang berkaitan dengan barang-barang tak bergerak dan perusahaan. Tidak ada kemuskilan bagi seseorang untuk memahami sisi kemaslahatan dalam pencatatan nikah, akad dan transaksi-transaksi ini

( Siraj,1993:105).

Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun Ulama Indonesia umumnya setuju atas ayat tersebut dan tidak ada reaksi terbuka atasnya, tetapi karena persyaratan pencatatan di atas tidak disebut dalam kitab-kitab fiqh, dalam pelaksanaannya masyarakat muslim Indonesia masih mendua. Misalnya, masih ada orang yang mempertanyakan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu dari segi agama lalu tidak menjadi tidak sah. Kecenderungan jawabannya ialah bahwa kalau semua rukun dan syarat perkawinan sebagaimana dikehendaki dalam kitab fiqh sudah terpenuhi, suatu perkawinan itu tetap sah. Sebagai akibatnya ialah banyak orang yang melakukan kawin di bawah tangan di Indonesia. Apalagi jika perkawinan itu merupakan perkawinan kedua dan ketiga, kecenderungan untuk kawin di bawah tangan semakin kuat lagi. Pada waktunya keadaan ini dapat mengacaukan proses-proses hukum yang akan terjadi berikutnya atau mengacaukan hak-hak hukum anak yang dihasilkannya. Seharunsnya dipahami bahwa keharusan pencatatan perkawinan adalah bentuk baru dan resmi dari perintah Nabi Muhammad SAW agar mengumumkan atau mengiklankan nikah meskipun dengan memotong seekor kambing (Mudzhar,1998 : 180-181).

Usaha untuk menetapkan pencatatan perkawinan di Mesir dimulai dengan terbitnya Ordonansi Tahun 1880 yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pegawai-pegawai pencatat nikah dan dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta menyerahkan pelaksanaan pencatatan nikah itu kepada kemauan para pihak yang berakad dan pertimbangan kepentingan mereka. Ordonansi Tahun 1880 itu didikuti dengan lahirnya Ordonansi Tahun 1897 yang pasal 31-nya menyatakan bahwa gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya hubungan perkawinan tidak akan didengar oleh pengadilan setelah meninggalnya salah satu pihak apabila tidak dibuktikan dengan suatu dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan. Sedangkan di Pakistan telah timbul pemikiran tentang kewajiban mencatatkan perkawinan dengan ditetapkannya suatu ketentuan yang termuat dalam pasal 5 Ordonansi Hukum Keluarga Islam Tahun 1961 (Muslim Family Laws Ordinance,1961). Dalam pasal ini ditegaskan bahwa yang berwenang mengangkat pejabat-pejabat pencatat nikah dan mengizinkan mereka untuk melakukan pencatatan akad nikah adalah Majelis Keluarga(Union Council) dan bahwa majelis ini memberi izin untuk melakukan pekerjaan tersebut hanya kepada satu orang pada setiap daerah tertentu. Sesuai dengan pasal tersebut, perkawinan yang tidak dicatat tidaklah dianggap batal. Hanya saja para pihak berakad dan saksi yang melanggar ketentuan ordonansi itu dapat dihukum karena tidak mencatatkan nikah itu, dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan dan hukuman denda setinggi-tingginya seribu rupiah. Ketentuan hukuman ini sama sekali tidaklah bertentangan dengan asas-asas pemikiran hukum pidana Islam, yang justru memberi hak kepada penguasa untuk memberikan hukuman ta’zir bila diperlukan guna mempertahankan kepentingan-kepentingan yang dikehendaki oleh syara’ (Siraj,1993:106).

Dari tiga negara tersebut terdapat kesamaan pandangan tentang perlunya akad nikah diaktakan. Pentingnya diaktakan akad perkawinan di atas karena menyangkut persoalan asal-usul anak, kewarisan dan nafkah. Akan tetapi tiga negara di atas belum sampai kepada sikap dan pandangan bahwa pencatatan nikah termasuk rukun baru dari akad nikah. Hal ini dapat dilihat dari masih dianggap sah suatu pernikahan yang tidak dicatat.

Keharusan pencatatan perkawinan di atas seharusnya dipahami sebagai bentuk baru dan resmi dari perintah Nabi Muhammad SAW agar mengumumkan atau mengiklankan nikah meskipun dengan memotong seekor kambing. Dalam masyarakat kesukuan yang kecil dan tertutup seperti di Hijaz dahulu, dengan pesta memotong hewan memang sudah cukup sebagai pengumuan resmi. Akan tetapi dalam masyarakat yang kompleks dan penuh dengan formalitas seperti zaman sekarang ini, pesta dengan memotong seekor kambing saja tidak cukup melainkan harus didokumentasikan secara resmi pada kantor yang bertugas mengurusi hal itu. Karena itu mungkin kewajiban pencatatan ini dapat dipikirkan untuk menjadi tambahan rukun nikah dalam kitab fiqh baru nanti (Mudzhar,1998 :180-181).

Di samping itu, ada pula argumen lain yang mendukung pentingnya pencatatan perkawinan itu dilakukan dengan berpedoman pada ayat Alquran yang menyatakan bahwa dalam melakukan transaksi penting seperti hutang-piutang hendaknya selalu dicatatkan (Q.S. 2 : 282). Tidak syak lagi bahwa perkawinan adalah suatu transaksi penting (Mudzhar,1999 : 112).

3. Masalah cerai di depan pengadilan

Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Aturan ini berbeda dengan kitab-kitab fiqh klasik yang menyatakan bahwa talak dapat terjadi dengan pernyataan sepihak dari suami, baik secara lisan maupun tertulis, secara bersungguh-sungguh atau bersenda gurau (Mudzhar,1999:116).

Di Pakistan, menurut UU tahun 1961 dinyatakan bahwa seorang suami masih dapat menjatuhkan talak secara sepihak di luar pengadilan, tetapi segera setelah itu ia diwajibkan melaporkannya kepada pejabat pencatat perceraian yang kemudian akan membentuk Dewan Hakam (Arbitrasi) untuk menengahi dan mendamaikan kembali pasangan suami isteri itu. Jika setelah 90 hari usaha perdamaian itu gagal, talak itu berlaku.

Di Mesir sampai terbitnya Undang-Undang Tahun 1979 tentang beberapa ketentuan hukum keluarga menghendaki dibatasinya hak talak suami dengan cara mewajibkannya mencatatkan talak pada waktu dijatuhkan dan memberitahukan kepada isterinya. Jika tidak, ia dapat dikenai hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan dan denda sebanyak-banyaknya dua ratus pound, dan talak hanya menimbulkan akibat hukum sejak dari tanggal diketahuinya oleh isteri. Undang-undang itu juga menetapkan untuk janda yang ditalak setelah dicampuri suatu pemberian mutah yang besarnya sama dengan nafkah selama dua tahun (Mahmood,1987: 31-32).

Di Indonesia dengan keharusan mengucapkan talak di depan sidang pengadilan, praktis konsep talak tiga yang dijatuhkan sekaligus juga tidak berlaku lagi. Demikian juga di Mesir. Semua pengaturan ini dilakukan untuk melindungi hak-hak wanita (Mudzhar,1999:116).

4. Poligami

Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Juga seorang wanita hanya bolaeh mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 40 dinyatakan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari satu, ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan. Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya mempersulit terjadinya poligami, bahkan bagi pegawai negeri berdasarkan PP No. 10 tahun 1983 poligami praktis dilarang.

Ketentuan-ketentuan Ordonansi Mesir tahun 1929 yang memberi wanita hak minta pemutusan hubungan perkawinan karena adanya kesakitan secara umum. Orientasi ini ternyata diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa mengenai poligami. Akan tetapi kemudian terbit Undang-Undang Tahun 1979 yang membawa ketentuan-ketentuan baru mengenai poligami. Dalam pasal 6 undang-undang tersebut ditegaskan dua hal, yaitu pencatat nikah wajib memberi tahu isteri terdahulu tentang perkawinan kedua suaminya apabila perkawinan tersebut dilakukan oleh suaminya itu, dan dianggap menyakiti isteri adanya wanita lain yang mendampingi suaminya tanpa persetujuannya, meskipun pada waktu dilakukan akad nikahnya dahulu ia tidak mensyaratkan kepada suaminya agar tidak memadunya. Demikian pula suami merahasiakan terhadap isterinya yang baru bahwa ia berada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, dan hak isteri untuk minta pemutusan perkawinan gugur dengan lewatnya waktu satu tahun sejak ia mengetahui adanya sebab yang menimbulkan kesakitan itu yaitu poligami) selama ia tidak setuju terhadap hal itu yang dinyatakan secara tegas atau diam-diam ( Mahmood,1987: 273-274).

Di Mesir poligami itu sendiri dianggap sebagai menyakiti isteri sehingga memberinya hak untuk meminta pemutusan perkawinan selama ia tidak setuju atau belum lewat waktu satu tahun sejak ia mengetahui kejadian pernikahan suaminya dengan wanita lain. Hal ini berbeda dengan keadaan sebelumnya hak minta pemutusan perkawinan itu diberikan kepada isteri apabila dengan poligami itu terbukti adanya kesakitan yang dialami isteri (Siraj,1993 : 108-109).

Hukum Pakistan mengikuti garis perkembangan yang sama dalam masalah poligami. Dalam Undang-Undang Pemutusan Perkawinan Islam Tahun 1939 dinyatakan bahwa wanita berhak minta pemutusan perkawinan apabila terbukti ia mendapat kesakitan karena poligami. Kemudian diterima pandangan yang membatasi poligami, akan tetapi dilakukan dengan cara yang berbeda dengan cara yang diambil oleh hukum Mesir. Ordonansi Pakistan Tahun 1961 menyatakan wajibnya seorang yang ingin melakukan poligami memperoleh persetujuan majelis keluarga yang akan mengangkat suatu badan arbitrasi yang mencakup wakil isteri , dan badan arbitrasi ini tidak akan mengeluarkan persetujuan sang suami mengambil satu isteri lagi sebelum ia yakin betul terhadap keadilan dan perlunya suami kawin lagi. Pasal 6 Ordonansi Pakistan Tahun 1961 itu menetapkan bahwa suami yang melakukan perkawinan kedua dengan wanita lain tanpa memperoleh persetujuan tersebut, dapat dikenakan hukuman penjara selam-lamanya satu tahun dan denda sebanyak-banyaknya lima ribu rupiah, dan isteri terdahulu memperoleh hak atas talak (Mahmood,1987:245-246).

Dari sudut pandangan fuqaha modern, dengan menetapkan hukuman seperti itu atas semata-mata poligami, ordonansi tersebut telah sampai pada batas pelanggaran terhadap filsafat fiqh yang menegaskan bahwa tidak ada hukuman dalam melakukan perbuatan yang dibenarkan syara’(Siraj,1993:109).

Di dunia muslim pada umumnya kecenderungannya adalah sama yaitu membatasi terjadinya poligami dan pembatasan itu bervariasi bentuknya dari cara yang paling lunak sampai paling tegas. Cara lain bagi pembatasan polgami adalah dengan pembuatan perjanjian. Isteri diberi hak untuk meminta suami ketika melangsungkan perkawinan agar membuat perjanjian bahwa jika ia ternyata nanti nikah lagi dengan wanita lain, si isteri dapat langsung meminta cerai kepada pengadilan atau dengan sendirinya jatuh talak satu apabila yang melanggar itu pihak isteri (Mudzhar,1999:117). Munculnya berbagai peraturan perundang-undangan di negara-negara muslim tersebut, terutama dalam bidang pernikahan, hendaklah dipahami sebagai langkah dan cara untuk mempertahankan kelanggengan kehidupan keluarga yang dicita-citakan Islam.

B. PENGERTIAN

1.POLIGAMI

1.1 Kedudukan Poligami

Di antara hak suami, ialah suami boleh mengambil wanita lain sebagai isterinya tidak melebihi empat orang serentak asalkan yakin boleh berlaku 'adil. Poligami ini diakui oleh al Qur'an, Sunnah Nabi s.a.w dan oleh para fuqaha' serta tidak ada yang menentang ketentuan ini di kalangan umat Islam. Firman Allah yang mafhumnya:

"Jika kamu takut tidak berlaku 'adil terhadap (hak hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengahwininya), maka kahwinilah wanita wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku 'adil, maka (kahwinilah) seorang sahaja, atau budak budak yang kamu miliki. Yang demikfan itu adalah lebfh dekat kepada tidak berlaku aniaya." (A1 Nisa: 3)

Poligami hukumnya tidak wajib dan tidak sunat, hanya merupakan kebolehan yang bererti boleh dikerjakan dan boleh juga tidak. Dalam pelaksanaannya, ia bergantung kepada individu; sekiranya ia merasakan itu baik dilaksanakan maka baiklah baginya untuk melaksanakannya. Tetapi jika dikhuatiri akan membawa kerusakan maka lebih utama ia meninggalkannya. Dalam hal ini tidak ada alasan yang memestikannya terlebih dahulu meminta izin hakim atau pendapat orang lain, kerana ini adalah termasuk masalah peribadi manusia.

1.2 Hikmah Poligami

Islam adalah hukum Allah yang terakhir yang dibawa oleh Nabi yang terakhir pula. Oleh itu ia datang membawa undang undang yang lengkap, abadi dan 'alamiyyah. Hukumnya berlaku untuk semua daerah, semua masa dan semua manusia. Islam tidak membuat hukum yang hanya berlaku untuk orang kota dan melupakan orang desa, untuk daerah dingin dan melupakan daerah panas, untuk satu masa tertentu dan melupakan masa masa yang lain. Tetapi Islam menentukan ukuran kepentingan individu dan masyarakat, dan menentukan ukuran kepentingan dan kemaslahatan manusia seluruhnya. Islam tidak menetapkan sebab sebab tertentu yang membolehkan seseorang laki laki untuk berpoligami. Tetapi terdapat di sana beberapa keadaan yang mendorong kepada poligami, di antaranya

1.Perkahwinan pertama yang tidak menghasilkan anak

2.Isteri pertama sakit yang memerlukan orang lain menguruskan suaminya.

3.Ada sebab sebab tertentu yang menghalang ia daripada memuaskan suaminya di segi hubungan kelamin.

4.Keadaan keadaan tertentu di mana terdapat terlalu ramai wanita, terutama selepas terjadinya peperangan.

Al Qur'an menjelaskan yang mafhumnya:

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku 'adil terhadap (hak hak) perempuan yang yatim (biIamana kamu mengahwininya), maka kahwinilah wanita wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berLaku 'adil, make (kahwinilah) seorang sahaja, atau budak budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah Lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (A1 Nisa': 3)

"Kamu tidak akan sanggup untuk berLaku 'adii di antara wanita wanita itu, walaupun kamu ingin sekali untuk melaksanakan ke'adilan itu; oleh sebab itu janganlah kamu condong kepada salah seorang di antaranya sehingga menyebabkan yang lain seperti tergantung. Dan kalau kamu berusaha untuk berbuat baik dun bertaqwa kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Nisa': 129)

Ayat di atas menyimpulkan beberapa perkara berikut:

1.Poligami boleh dilaksanakan sampai empat isteri. Perkataan "menikahlah kamu", walaupun berbentuk perintah, namun maksudnya hanyalah mengatakan boleh dun bukan maksud wajib.

2.Poligami itu dilaksanakan dengan syarat berlaku 'adil di antara isteri isteri. Barangsiapa merasa khuatir akan tidak berlaku 'adil, maka ia hanya boleh menikah dengan seorang saja . Dan kalau ia menikah juga, maka 'aqadnya sah, tetapi ia berdosa dalam perbuatannya yang tidak 'adil itu. 'Ulama' sependapat apa yang dikatakan sebagai 'adil itu adalah dalam soal kebendaan, seperti tempat tinggal, pakaian, makanan, minuman dun waktu bermalam dan segala yang berhubung dengan pergaulan suami isteri. Semua Imam Imam mazhab yang empat setuju bahawa membahagi malam dengan 'adil di kalangan isteri adalah wajib, tetapi tidak wajib untuk menyama banyakkan jima', ia hanya sunat hukumnya.

3.Ayat al Qur'an di atas memberi pengertian adanya syarat kemampuan untuk memberi nafkah kepada isteri yang kedua, dan selanjutnya anak anaknya. Imam Syafi'i berkata: ' Dan perkataan maksudnya agar kamu jangan sampai mempunyai keluarga yang terlalu banyak sehingga di luar daripada kemampuan kamu.

4.Ayat yang kedua memberi pengertian bahawa 'adil dalam masalah cinta adalah suatu hal yang tidak mungkin. Suami hanya diperintahkan supaya jangan terlalu condong kepada salah seorang di antara isteri isterinya, sehingga membiarkan yang lain tergantung; seperti tidak dinikahi dan tidak diceraikan. Jadi suami wajib bergaul dengan isterinya yang tidak begitu dicintainya itu dengan rasa lemah lembut dan berbuat bik sedaya upayanya, mudah mudahan perlakuannya itu akan membaikkan hati isterinya dan menimbulkan kasih sayangnya.

2.MONOGAMI

Cukup logis bahwa Islam merupakan ketentuan untuk mengatur ikatan antara laki- laki dan perempuan dalam bentuk pernikahan, sehingga datang kedua belah pihak, suami istri dapat memperoleh kedamaian, kecintaan, keamanan dan ikatan kekerabatan.

Terdapat perbedaan secara mendassar tentang pernikahan menurut Islam, kenyataan diberbagai Negara Islam, negara- negara yang mayoritas penduduknya Islam memberikan ijtihad yang berbeda- beda dalam hukum keluarga mereka, terutama berkaitan dengan eksistensi poligami.

Islam ingin membangun suatu masyarakat yang patut menjadi teladan. Bila landasan keluarga itu kuat, maka landasan keluargapun akan kuat. Oleh karena itu, Islam tidak pernah pribadi pada anggota keluarga itu demi perhubungan kemiskinan kelak.

Hukum Isalm menghendaki bahwa dalam sebuah pekawinan kehadiran seorang suami hanya memiliki seorang istri dan seorang istri hanya memiliki seorang suami saja dalam waktu yang sama (asas monogami) sebagaiman firman Allah QS. An-Nisa ayat 3 yang berbunyi :

“ jikalau kamu takut akan tidak adil di antara istri- istri itu, seyogyanyalah kamu menikahi seorang perempuan saja, yang demikian itu, adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniyaya“.

Dengan demikian, jelaslah bahwa nikah (ikatan pernikahan monogami) diperintahkan oleh Agama Islam dan dijelaskan dalam asa itu sendiri, begitupun dengan UU NO.1 Iahun 1974 tentang perkawinan (pernikahan).

3.PERCERAIAN

3.1 Kedudukan Talaq

Allah menetapkan talaq sebagai suatu cara bagi menyelesaikan perselisihan antara suami isteri, di saat tidak ada lagi cara lain yang dapat mengatasinya. Talaq artinya melepaskan. Menurut istilah syara' bererti: Melepaskan ikatan pernikahan dengan kata kata atau lafaz yang menunjukkan talaq. Talaq adalah satu perbuatan yang halal dilakukan menurut agama, tetapi perbuatan itu tidak disukai oleh Allah, sebab ia memutuskan kasih sayang.

Firman Allah yang mafhumnya:

"Dan jika kamu (suami isteri) bercerai, Allah akan melapangkan hidup masing masing dan adalah Allah itu Maha Luas PengurniaanNya dan Maha Bijaksana." (Al Nisa': 130)

Sabda Rasulullah s.a.w yang mafhumnya: "Perbuatan halal yang dimurkai Allah ialah talaq" (Abu Dawud, AI Hakim)

3.2 Jenis jenis Talaq

Yaitu talaq di mana suami masih dapat meruju' kembali dengan bekas isterinya tanpa memerlukan 'aqad baru, asalkan isteri masih dalam 'iddah seperti talaq satu dan dua. Ini berlandaskan kepada firman Allah yang mafhumnya:

"Talaq (yang dapat diruju') dua kali. Setelah itu boleh ruju' dengan cara yang ma'ruf atau talaq dengan cara yang ma'ruf." (Al Baqarah: 229)

2.2.2 Talaq Ba'in

Yaitu talaq yang suami tidak boleh ruju' kembali dengan bekas isteri melainkan mesti dengan 'aqad baru. Talaq ba'in terbagi kepada dua.

1. Talaq Ba'in Sughra

Jenis jenis talaq ba'in sughra ialah:

a.Talaq sebelum Jima'

Keadaan ini terus memutuskan pertalian antara keduanya, ini adalah kerena isteri tidak mempunyai 'iddah sebagai syarat kepada talaq raj'i.Ini berdasarkan kepada dalil:

"Hai orang orang yang beriman, apabila kamu menikahi wanita wanita yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu campurinya maka sekali kali tidak wajib atas mereka 'iddah yang kamu minta menyempurnakannya." (Al Ahzab: 49)

b Talaq melalui Khulu'

Talaq ini adalah perceraian yang diminta oleh isteri daripada suami dengan memberikan wang atau lain lain kepada suami. Talaq ini juga dinamakan talaq yang ditebus oleh isteri terhadap suami kerana ada beberapa hal yang tidak menyenangkan isteri terhadap suami.

Firman Allah yang mafhumnya:

"Dan tidak halal bagimu mengambil sesuatu daripada barang yang telah kamu berikan kepada isteri. Kecuali apabila keduanya khuatir bahawa mereka tidak dapat melakukan peraturan Allah. Maka apabila kamu khuatir bahawa keduanya tidak dapat melakukan aturan Allah, maka tidaklah berdosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya." (Al -Baqarah: 229)

c.Talaq melalui Fasakh

Talaq ini adalah merupakan keputusan yangdilakukan oleh qadi dengan syarat syarat dan sebab sebab tertentu tanpa ucapan talaq. Beza antara khulu' dan fasakh adalah; khulu' diucapkan oleh suami sendiri dengan ia menerima wang tebusan daripada isteri, ataupun isteri mengembalikan mahar kepada suaminya untuk mengakhiri ikatan sabagai suami isteri. Sedangkan fasakh diucapkan oleh qadi setelah isteri mengadu kepadanya, dengan memulangkan maharnya kembali.

d.Talaq melalui Ila'

Ila' ertinya sumpah suami bahawa ia tidak akan mencampuri isterinya dalam masa empat bulan atau lebih, atau tidak menyebut masa. Apabila seseorang bersumpah sebagai sumpah yang tersebut itu, hendaklah ditunggu sampai empat bulan. Kalau ia kembali kepada isterinya sebelum sampai empat bulan, dia wajib dikenakan bayaran kiffarah sahaja. Tetapi kalau sampai empat bulan dia tidak juga kembali baik dengan isterinya, hakim berhak menyuruh dia memilih antara dua perkara membayar kiffarah sumpah serta kembali berbaik dengan isterinya, atau mentalaqkan isterinya. Kalau suami tidak mahu menjalankan salah satu daripada dua perkara ini, hakim berhak menceraikan isterinya dengan paksa. Sebahagian 'ulama' berpendapat, apabila sampai empat bulan suami tidak kembali mencampuri isteri, dengan sendirinya kepada isteri itu dijatuhkan talaq ba'in, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.

e. Habis Tempo 'Iddah

Talaq Raj'i yang Habis Tempo 'Iddahnya

2. Talaq Ba'in Kubra.

Jenis jenis talaq ba'in kubra ialah:

i.Tala Selepas Selesai Tiga Talaq

Laki laki tidak boleh ruju', tidak sah kahwin lagi dengan bekas isterinya itu, kecuali apabila bekas isterinya itu sudah bernikah dengan orang lain, ser ta sudah dicampuri dan sudah dicerai dan telah habis 'iddahnya, barulah suami pertama boleh menikahinya kembali.

Firman Allah yang mafhumnya:

"Apabila suami telah ceraikan isterinya (tiga kali), maka itu tidaklah halal lagi isterinya itu, sebelum isterinya itu kahwin dengan orang lain terlebih dahulu." (Al-Baqarah: 230)

Li'an ialah ucapan tertentu yang digunakan untuk menuduh isteri telah melakukan perbuatan zina sebagai alasan suami menolak anak. Tuduhan zina tanpa empat saksi dapat dikenakan hukuman hudud; iaitu lapan puluh kali sebat. Hukuman ini tetap juga berlaku terhadap suami yang menuduh isterinya melakukan zina.

Tetapi hukuman ini tertolak dengan salah satu jalan; sama ada mengemukakan empat orang saksi laki laki, ataupun melakukan li'an. Firman Allah yang mafhumnya:

"Dan orang orang yang menuduh isteri isteri mereka, padahal tidak ada saksi saksi bagi mereka, kecuali diri diri mereka sendiri, maka persaksian seorang daripada mereka ialah empat kalf persaksian dengan nama Allah, bahawa ia daripada orang orang yang benar. Dan yang kelima bahawa la'nat Allah atas dMnya jika adalah ia daripada orang orang yang dusta." (Al Nur: 6-7 )

Talaq melalui li'an tidak dapat diruju', bekas suami tidak boleh menikah lagi dengan wanita tersebut buat selama-lamanya. Inilah pendapat sebahagian besar 'ulama' Islam.

2.3 Prinsip prinsip Islam dalam Masalah Talaq

Pertama sekali Islam mengajak suami isteri supaya menyedari tanggungjawab mereka antara satu sama lain dan juga terhadap anak anak mereka di hadapan Allah. Hendaklah mereka sentiasa bersabar dan ma'af mema'afkan kesalahan antara satu sama lain. Hendaklah mereka selalu bersegera untuk menyelesaikan perselisihan yang berlaku di antara mereka. Tetapi jika perselisihan itu berterusan, maka Islam telah menetapkan beberapa prinsip berlandaskan firman Allah yang mafhumnya:

"Wanita wanita yang kamu khuatiri nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta'atimu maka janganlah kamu mencari cari jalan untuk menyusahkannya, sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar. " (AI Nisa': 34)

Berdasarkan kepada ayat di atas, prinsip prinsip talaq adalah seperti berikut:

2.3.1 Menasihati

Hendaklah isteri itu dinasihati terhadap kesalahan kesalahannya. Jangan suami segera melakukan tindakan tindakan yang tidak wajar atau terbawa bawa oleh perasaan marah. Dengan nasihat nasihat ini diharap isteri dapat menyedari kesalahan kesalahannya serta cuba memperbaiki dirinya.

2.3.2 Memisahkan Isteri dari Tempat Tidur

Sekiranya setelah diberi nasihat, masih lagi isteri tidak mahu merubah keburukannya, maka swami perlulah memisahkannya dari tempat tidur. Menurut Ibn 'Abbas memisah diri daripada isteri di tempat tidur ini adalah dengan memalingkan muka daripada isteri di tempat tidur.

2.3.3 Memukul

Sesudah dua pengajaran di atas isteri masih juga derhaka, suami berhak memukulnya, tapi tidak sampai menyakitinya. Rasulullah s.a.w mengizinkan tindakan ini kerana terdapat sebahagian wanita yang tidak dapat diubah melainkan dengan sedikit kekerasan.

2.3.4 Tahkim

Jika perselisihan berterusan maka hendaklah dicari penyelesaiannya melalui tahkim, sesuai dengan firman Allah yang mafhumnya:

"Dan jika kamu ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang pendamai daripada keluarga laki laki dan seorang pendamai daripada keluarga wanita. Jika kedua orang pendamai itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu." (Al Nur: 6-7 )

2.3.5 Menjatuhkan Talaq

Maka apabila tahkim juga gagal,sedang pihak suami tidak menghendaki perkahwinan itu lagi, maka janganlah ia terlalu mengikuti kemarahannya dalam menjatuhkan talaq. Tetapi hendaklah ia menjatuhkan talaq mengikut cara berikut:

1 Suami mentalaqkan isteri dalam keadaan isteri itu suci dan tidak dicampuri selepas suci tersebut. Apabila suami menceraikan isteri dalam keadaan begini, ini bererti suami memang tidak senang terhadap isteri, dan dengan demikian terdapatlah alasan yang kuat untuk menj atuhkan talaq.

2.Talaq yang dijatuhkan adalah talaq satu atau talaq raj'i, di mana suami masih dapat meruju' isterinya selagi masih dalam 'iddahnya lagi. Dalam syari'at Islam, wanita yang ditalaq wajib tetap tinggal di rumah suaminya selama dalam masa 'iddah. Dia diharamkan keluar dari rumah, dan suami diharamkan mengeluarkan bekas isterinya itu dari rumah tanpa sesuatu alasan yang dapat dibenarkan. Firman Allah yang mafhumnya:

"Dan takutlah karnu kepada Allah, Tuhanmu. Jangan karnu usir mereka itu dari rumah rumah mereka dan jangan sampai mereka itu keluar rumah, kecuaii apabila mereka berbuat kejahatan dengan terang terangan; dan yang dernikian itu adalah Batas Batas ketentuan Allah, dan barangsiapa melanggar hukurn hukum Allah maka sungguh dia telah berbuat zalim pada dirinya sendiri; karnu tidak tahu barangkali Allah akan mengadakan hal baru sesudah itu." (At-Talaq: 1)

3. Apabila masa 'iddah telah habis, suami tidak boleh lagi ruju' isterinya. Sekiranya suami merasa menyesal dan ingin kembali kepada isterinya, maka suami perlu meminta kesediaan isterinya dan ini dapat dilaksanakan dengan 'aqad nikah dan mahar yang baru.

4. Apabila suami mengulangi talaq itu sampai dua kali dengan cara yang telah disebutkan di atas, kemudian diceraikan untuk kali yang ketiga, maka dalam keadaan ini suami tidak berhak lagi kembali kepada bekas isterinya kecuali setelah melalui syarat syarat yang berat, iaitu isteri wajib menghabiskan 'iddahnya kemudian berkahwin dengan laki laki lain dalam bentuk perkahwinan yang sah. Setelah bercampurnya mereka sebagai suami isteri dan berlaku perceraian, sama ada kematian suami atau talaq. Apabila wanita ini telah selesai 'iddahnya, barulah suami pertama boleh kembali mengahwini bekas isterinya dengan 'aqad nikah dan mahar yang baru. Firman Allah yang mafhumnya:

"Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanyaa (bekas suami pertama dan isteri) untuk kahwin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum hukum Allah. Itulah hukurn hukum Allah, diterangkan Nya kepada kaurn yang (mahu) mengetahui." (Al Baqarah: 230)

Inilah cara talaq yang ditetapkan oleh syara', cara ini dinamakan talaq sunni, selain daripada ini adalah talaq bid'i.

Di antara talaq bid'i itu ialah:

1.Mentalaq isteri waktu isteri dalam haid

2.Mentalaq isteri dalam keadaan nifas

3.Mentalaq isteri di waktu isteri telah suci daripada haid atau nifas, tetapi telah dicampuri

4.Mentalaq isteri dengan mengeluarkannya dari rumah

Talaq yang tersebut di atas haram. Tetapi tetap jatuh talaq di segi hukumnya.

2.4'Iddah

'Iddah adalah nama bagi jangka masa menunggu bagi seseorang wanita dalam mana ia tidak boleh bernikah, selepas kematian suaminya atau setelah dijatuhkan talaq. 'Iddah ini bertujuan untuk mengetahui bersihnya rahim seseorang wanita sesudah ditinggal mati atau ditalaq oleh suaminya. Apabila isteri telah ditalaq oleh suaminya, wanita itu tidak boleh dipinang atau dinikahi, kecuali sesudah habis 'iddahnya.

3.Tanggungjawab Membiayai Keluarga (Nafkah)

Nafkah ertinya mengeluarkan belanja. Menurut istilah syara', ertinya sesuatu yang dikeluarkan oleh seseorang untuk keperluan dirinya dan keluarganya atau lain lain. Nafkah ini adalah dalam bentuk makanan, minuman, pakaian dan sebagainya. Perkara yang mewajibkan nafkah adalah kerana; perkahwinan, sebab kerabat dan sebab milik.

Firman Allah yang mafhumnya:

"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah daripada harta yang diberi Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan kepada seseorang sesuatu beban melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberi kelapangan sesudah kesempitan." (Al-Talaq: 7)

C.FENOMENA POLIGAMI, MONOGAMI, DAN PERCERAIAN KONTEMPORER

Seputar Ijab Kabul dan Perceraian Jarak Jauh Meski Pengadilan Agama Jakarta Selatan memperbolehkannya, namun putusan ini dianggap riskan. Kabarnya, MA menegur hakim yang memeriksa perkara karena dikhawatirkan menimbulkan preseden tidak baik ;Saya terima nikahnya si Fulan binti Fulan dengan mas kawin sekian dibayar tunai . Demikianlah lazimnya lafal kabul diucapkan mempelai pria usai pengucapan ijab oleh wali mempelai perempuan atau penghulu. Ya, ijab dan kabul ini merupakan sebagian prosesi pernikahan agama Islam sekaligus salah satu rukun perkawinan yang diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Normalnya prosesi ini dilakukan dalam satu majelis. Artinya, ijab kabul dilakukan pada saat yang bersamaan dan disaksikan oleh dua orang saksi. Abdul Moqsith Ghazali, peneliti The Wahid Institute

mengistilahkan ijab dan kabul dalam satu majelis tersebut artinya, dalam satu ruang dan waktu. Namun situasi kini yang makin kompleks dan didukung kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, bisakah prosesi ijab kabul dilakukan jarak jauh. Misalnya, via teleconference, telepon, surat elektronik (e-mail), layanan pesan singkat (SMS) maupun faksimili. Sah atau tidak ijab kabul perkawinan tersebut? Sebaliknya, bagaimana juga dengan perceraian yang dilakukan dengan cara demikian. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 4 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 14 Untuk melaksanakan perkawinan harus ada ; a. Calon suami b. Calon Istri c. Wali Nikah d. Dua orang saksi, dan e. Ijab dan kabul Pasal 27 Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu. UU 1/1974 tentang Perkawinan Pasal 2 (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Menjawab soal ijab kabul , hakim agung, menyatakan, selama dapat diyakinkan bahwa suara di seberang sana adalah orang yang berkepentingan, maka hal tersebut

sah-sah saja. Soal pengertian satu majelis, Rifyal berpendapat pengertian satu majelis saat ini tidak bisa disamakan dengan satu majelis zaman nabi. Rifyal yang menyabet gelar master dari Department of Social Sciences, Kairo, Mesir ini menganalogikan ijab dan kabul perkawinan dengan perdagangan yang menurut Islam juga harus dilakukan dalam satu majelis. Tapi sekarang jual beli ekspor impor kan tidak begitu. Buyer (pembeli, red)-nya di Amerika Serikat, kita di sini. Dan itu di seluruh negara Islam dipandang sah-sah saja, contoh Rifyal. Namun bukan berarti Rifyal setuju dengan penggunaan seluruh media komunikasi untuk ijab kabul perkawinan jarak jauh. Ia berpendapat teleconference dan telepon sebagai sarana yang memungkinkan ketimbang surat elektronik (surel), SMS dan faksimili.

Alasan Rifyal lebih bersifat otentifikasi media yang digunakan. Artinya, sulit untuk memastikan bahwa surel, SMS maupun faksimili yang dikirimkan tersebut benar-benar dikirim oleh orang yang bersangkutan. Senada dengan Rifyal, Abdus Salam Nawawi, Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, menyadari perkembangan dunia saat ini tidak bisa lagi membatasi ijab dan kabul harus dalam satu ruang dan waktu. Menurut Abdus Salam, inti dari ijab dan kabul adalah akad atau perjanjian. Karenanya, sama dengan Rifyal, Abdus Salam berpendapat akad nikah atau ijab kabul sama dengan ijab kabul dalam jual beli. Pada prinsipnya sama harus ada ijab dan kabul yang jelas. Nah apabila kedua pihak yang berakad ini tidak berada satu majelis, kemudian melalui bantuan teknologi keduanya dapat dihubungkan dengan sangat meyakinkan, itu menurut saya dapat dihukumi satu majelis; jelas Nawawi kepada hukum online. Begitupun dengan perceraian jarak jauh. Menurut Nawawi, ijab kabulnya sama dengan

akad sehingga, kalau terpenuhi prinsip-prinsip kepastian, perceraian bisa dilakukan jarak jauh. Meski mengakui perceraian jarak jauh sah jika diketahui kepastiannya- menurut agama, namun Rifyal menyatakan hukum positif di Indonesia belum memungkinkan untuk dilakukan dengan jarak jauh. Pasalnya, perceraian di Indonesia hanya bisa dilakukan di Pengadilan. Praktik Dalam praktiknya, ijab kabul perkawinan jarak jauh lebih banyak ditemukan ketimbang perceraian jarak jauh. Bahkan, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk telah memfasilitasinya pada Maret 2006 lalu. Telkom

Kandatel Bandung bisa jadi merupakan penyelenggara pernikahan jarak jauh via internet yang pertama. Soal biaya, jangan membayangkan angka enam digit alias jutaan. Karena tarifnya cukup murah, lebih kurang Rp100 ribu.

Perkawinan jarak jauh khususnya lewat media telepon telah dikukuhkan oleh sebuah putusan pengadilan yaitu putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.1751/P/1989. Namun demikian, putusan ini dipandang Rifyal cukup riskan. Bahkan, hakim yang memutus perkara tersebut menurut Rifyal mendapat teguran dari MA karena dianggap dapat menimbulkan preseden tidak baik. Sebagai perbandingan, di Mesir, berdasarkan buku laporan pelatihan hakim Indonesia gelombang II di Kairo, 2003, pengertian satu majelis tidak harus duduk dalam satu tempat. Oleh karenanya, ijab kabul melalui telepon dipandang sah bila dapat dipastikan suara yang didengar adalah suara orang yang melakukan ijab kabul. Begitupun apabila ijab kabul dilakukan lewat surat elektronik dibacakan oleh kuasanya yang sah di depan dua orang saksi nikah dan banyak orang. Adalah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang pernah melakukan perkawinan jarak jauh. Ia saat itu menempuh studi di Mesir dan saat ijab kabul mewakilkan dirinya kepada orang lain lewat surat kuasa. Saat itu, Gus Dur sebagai mempelai pria diwakili kakeknya dari garis ibu, KH Bisri Syansuri. Jika di Indonesia

putusan pengadilan mengesahkan perkawinan lewat telepon, lain lagi dengan Malaysia. Di negeri jiran tersebut pernah terjadi polemik soal perceraian jarak jauh ketika Mahkamah Rendah Syariah Gombak Timur mengesahkan perceraian

pasangan Shamsuddin Latif dan Azida Fazlina Abdul Latif yang dikirim melalui SMS. Disinggung soal kasus ini, Rifyal dengan tegas menyatakan perceraian lewat SMS tidak bisa dipertanggungjawabkan. Menurut Rifyal, ditinjau dari pembuktian, SMS belum diterima sebagai alat bukti di pengadilan, Karena keotentikannya diragukan, maka cerai

melalui SMS tidak dibolehkan, tukasnya. Bukan Soal Sah atau Tidak Sah Sementara itu, Moqsith Ghazali dari The Wahid Institute menggunakan pendekatan yang berbeda dalam menanggapai persoalan ijab kabul jarak jauh ini. Menurutnya, ketika menggelar prosesi ijab kabul, kedua mempelai harus hadir. Ini kan momen penting.

Pengadilan Agama Temanggung http://pa-temanggung.ptasemarang.net Menggunakan Joomla! Generated: 23 January, 2009, 23:37 Bukan persoalan sah dan tidak sah. Tapi secara moral, saya kira orang menikah itu harus hadir secara fisik. Karena ada kedekatan psikologis antara calon pengantin, tuturnya. Ditanya soal perbandingan praktik di Mesir, Moqsith Ghazali menilai hal itu masih kontroversial. Menurutnya hampir semua imam fikih berpendapat ijab kabul harus satu majelis. Namun ulama kontemporer, dengan menimbang persoalan ekonomi, baru-baru ini memperbolehkan perkawinan jarak jauh. Tentang perceraian jarak jauh, peneliti muda ini menganggap perceraian pada prinsipnya sama dengan ijab kabul. Keduanya sama-sama menyangkut persoalan akad atau kontrak. Kontrak itu kan harus jelas, siapa yang

melakukan akad, saksi dan walinya siapa. Apalagi ini kan kontrak jangka panjang, tukasnya. Kesimpulannya, Moqsith Ghazali kurang sepakat jika prosesi ijab kabul dan perceraian dilakukan dengan jarak jauh. Wallahua ;lam bissawab.

Pengadilan Agama Temanggung

http://pa-temanggung.ptasemarang.net Menggunakan Joomla! Generated: 23 January, 2009, 23:37

D. ANALISA TERHADAP POLIGAMI, MONOGAMI DAN PERCERAIAN KONTEMPORER

1. POLIGAMI

Dalam Al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi tidak ditemukan secara eksplisit ketentuan yang mengatur alasan poligami karena keadaan istri. Ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara masalah poligami, misalnya surat al-Nisa ayat 3 :

“Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi dua, tiga, atau empat orang. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Ayat di atas menyebutkan kebolehan poligami yang dilakukan jika diperlukan (karena khawatir tidak akan berlaku adil terhadap anak-anak yatim) dengan syarat yang cukup berat yaitu keadilan yang bersifat material. Begitu juga dengan surat al-Nisa ayat 129 : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian….” Yang menyatakan ketidakmungkinan manusia untuk bisa berlaku adil (secara immaterial/cinta) walaupun ia sangat ingin dan sudah berusaha semaksimal mungkin. Selanjutnya kalau dikaji berdasarkan munasabah ayat dengan melihat ayat-ayat sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa surat al-Nisa ayat 1 berbicara tentang penciptaan laki-laki dan perempuan dari sumber yang sama, karena itu memberikan gambaran kesetaraan kedua jenis kelamin. Lalu al-Nisa ayat 2 berisi desakan kepada muslim agar memberi harta anak yatim yang menjadi warisannya dan tidak mengganggu untuk kepentingan wali. Kemudian al-Nisa ayat 3 memberikan alternatif bagi laki-laki (wali) yang khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim tersebut supaya melakukan poligami dengan menikahi selain anak yatim perempuan yang dalam perwaliannya atau ibunya anak-anak yatim. Dengan demikian, penekanan ayat 1, 2 dan 3 surat al-Nisa di atas bukan pada poligami itu sendiri, tapi perintah berbuat adil kepada orang-orang yang memelihara anak-anak yatim.

Khusus mengenai sebab al-nuzul al-Nisa ayat 3, al-Shabumi mengemukakan bahwa al-Bukhari meriwayatkan dari Urwah ibn Zubair sesungguhnya ia pernah bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah di atas. Lalu Aisyah berkata : Hai anak saudaraku, si yatim ini berada di bawah perwaliannya dan hartanya tercampur menjadi satu. Wali itu tertarik pada harta dan kecantikan wajah si yatim, lalu hendak mengawininya. Tetapi cara ini tidak adil mengenai pemberian mahar untuk si yatim, ia tidak memberinya seperti yang diberikan kepada wanita lain. Maka berbuat demikian dilarang, lain halnya kalau ia bisa adil. Padahal mereka terbiasa memberi mahar tinggi. Begitulah lalu mereka disuruh mengawini perempuan yang cocok dengan mereka selain anak yatim itu.

Pendapat senada dikemukakan al-Jasshas yang menurutnya ayat 3 surat al-Nisa di atas berkenaan dengan anak yatim yang dinikahi walinya. Bahkan menurut al-Jasshas, larangan menikahi anak yatim ini begitu kuat. Hal ini terlihat dengan dimasukkannya materi ini pada bab tazwij al-shighar (pernikahan anak di bawah umur).

Begitu juga dengan al-Thabari yang mengatakan bahwa ayat 3 surat al-Nisa tersebut terkait erat dengan nasib perempuan dan anak yatim. Menurutnya, di antara pendapat ulama yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat ini terkait dengan kekhawatiran tiadanya wali yang bisa berbuat adil terhadap anak yatim. Maka kalu demikian, kekhawatiran ini dengan sendirinya berlaku juga pada cara mensikapi wanita. Maka “janganlah berpoligami, kecuali pada wanita yang mungkin kamu bisa berlaku adil dua sampai empat”. Sebaliknya, kalau ada kekhawatiran tidak bisa berlaku adil ketika poligami, maka cukuplah dengan menikahi budak wanita yang dimilikinya, sebab hal itu akan lebih memungkinkan tidak akan berbuat penyelewengan.

Sedangkan dari hadits-hadits Nabi, di antaranya diriwayatkan oleh Tirmidzi :

“Bahwa Ghailan ibn Salamah ketika masuk Islam mempunyai 10 orang istri, maka Nabi pun berkata kepadanya : “Pilihlah empat (sebagai istrimu), dan ceraikan yang lainnya”.

Hadis di atas menjelaskan bahwa poligami hingga batas empat dibolehkan oleh Nabi. Begitu juga dalam shahih muslim disebutkan, Aisyah memahami surat al-Nisa ayat 3 itu bahwa jika para pemelihara perempuan yatim khawatir dengan mengawini mereka tidak mampu berlaku adil, sebaiknya mengawini perempuan lain. Oleh sebab itu, ayat yang membolehkan poligami sebenarnya bukanlah menunjuk pada sifat dan makna yang berlaku umum, tapi mengandung suatu maksud, yaitu menegakkan keadilan terhadap anak yatim.

Analisa yang mungkin bisa dijadikan sandaran bagi adanya alasan-alasan keadaan istri yang bisa menyebabkan suami diizinkan poligami kiranya dapat dilacak dari konteks ayat, sejarah poligami orang-orang Arab pra Islam, dan memahami latar belakang poligami Nabi.

Sebelum ayat 1-4 surat al-Nisa turun, perlakuan wali terhadap anak-anak yatim yang dibawah pengasuhannya umumnya tidak berlaku adil. Banyak wali yang ingin menikahi anak yatim untuk menguasai hartanya atau menikahkan anak yatim tersebut dengan anaknya agar terjadi percampuran harta yang dapat menambah kekayaannya. Bahkan ada wali yang menahan anak yatim untuk tidak menikah atau menikah tapi dengan calon pilihan si wali agar si wali tersebut mendapat keuntungan dari pengurangan mahar, belanja, dan si walipun tetap secara tak langsung terus menguasai hak-hak perdata si yatim.

Menurut al-Khudari Bek, kedatangan Rasulullah SAW membawa syari’at Islam berhadapan dengan tata aturan yang telah ada dan diikuti umat. Tata aturan itu oleh Al-Qur’an tidak seluruhnya dihapuskan, tidak pula seluruhnya ditolak, ada kalanya tetap diperlakukan yakni pada aturan yang tidak merusak (mudharat), dalam arti masih diterima Islam, dan ada kalanya tata aturan itu diganti dengan yang baru karena tidak cocok dengan maqasid al-tasyri.

Pada waktu Al-Qur’an turun, praktek poligami sudah biasa dilaksanakan masyarakat Arab dengan jumlah tak terbatas. Orang-orang Yahudi dan Nashrani saat itu juga tidak mengharamkannya. Jadi tidak diperlukan perintah untuk melaksanakan poligami itu. Yang diperlukan saat itu adalah perintah untuk membatasi poligami pada dua, tiga, atau empat sebagai batas yang maksimal. Pembatasan ini perlu agar orang jangan sampai terpaksa memakan harta anak yatim yang dipeliharanya, karena keperluannya untuk memberi nafkah kepada istri-istri dan anak-anaknya yang banyak.

Redaksi yang dipakai dalam Al-Qur’an untuk menerangkan bolehnya sesuatu biasanya menggunakan kata-kata “La Junaha ‘Alaikum”, “Uhilla Lakum” dan gaya bahasa lain yang menunjukkan boleh. Tapi dalam kasus ini redaksi al-Qur’an muncul dengan bentuk perintah “Fankihu” sebagai jawab syarat dari “Wa in Khiftum…”. Ini berarti Allah SWT menghendaki terlaksananya perintah yang lebih penting daripada sekedar bolehnya poligami, yaitu merealisasikan keadilan yang ditujukan bagi wali dalam pengurusan anak-anak yatim yang di bawah perwaliannya.

Dalam mengimplementasikan keadilan terhadap anak-anak yatim itu kadangkala wali menemui kesulitan seperti merasa segan masuk ke rumah anak-anak yatim dan ibu mereka dalam rangka melihat kondisi dan mengetahui apa-apa yang mereka butuhkan, karena bukan muhrimnya. Untuk menghindari fitnah, maka wali dalam hal ini dianjurkan untuk mengawini anak yatim tersebut atau ibunya.

Selain itu, dalam konteks sejarah, ayat ini turun setelah selesainya perang Uhud yang memakan korban tewas 70 orang laki-laki dari 700 tentara Islam, akibatnya banyak muslimah yang janda dan anak yatim yang terlantar dan butuh pertolongan pemeliharaan. Menurut konteks sosial saat itu, jalan terbaik untuk memelihara dan menjaga para janda dan anak yatim adalah dengan menikahi mereka, dengan syarat harus adil. Jadi menikahi janda dan anak-anak yatim tersebut adalah sebagai wujud pertolongan, bukan memenuhi kebutuhan/kepuasan seks.

Indikasi motif di atas semakin kuat jika mengamati lebih lanjut perjalanan sejarah Nabi Muhammad SAW yang sunnahnya menjadi panutan. Beliau ternyata menikah sejak usia 25 tahun hingga berumur 54 (selama 29 tahun) hanya dengan seorang istri (monogami). Baru setelah berumur 54 tahun — bila dihitung tinggal sisa usia 9 tahun sampai wafatnya umur 63 tahun — beliau beristri lebih dari seorang atau melakukan poligami. Dan baru setelah dua tahun sepeninggal Khadijah Rasul berpoligami.

Dalam memahami latar belakang kebolehan poligami, Ali al-Shabuni misalnya, mencoba menyusun daftar motivasi poligami yang dilakukan Nabi dengan menjelaskan hikmah-hikmah poligami yang ditemukan saat itu. Al-Shabuni menangkap 4 hikmah penting yang menyertai poligami Nabi yaitu hikmah ta’limiyah, hikmah tasyri’iyah, hikmah ijtima’iyah, dan hikmah siyasiyah.

Pertama, hikmah ta’limiyah dimaksudkan bahwa Nabi melakukan poligami untuk kader-kader wanita sebagai guru agama buat kaum wanita lainnya. Ini karena banyak wanita yang segan dan malu bertanya langsung kepada Nabi mengenai masalah agama, khususnya yang berkaitan dengan masalah kewanitaan seperti tentang haid, nifas, janabah, dan urusan-urusan suami istri. Kalaupun ada wanita yang bertanya, beliau kadangkala terpaksa harus menerangkannya dengan bahasa kinayah yang kemungkinan besar tidak dipahami dengan benar oleh wanita tersebut.

Kedua, hikmah tasyri’iyah yang dimaksudkan untuk membatalkan sebagian adat-adat jahiliah yang menyimpang saat itu. Sebagai contoh Nabi mengawini Zainab mantan istri Zaid ibn Haritsah (anak angkat Nabi), sebab pada saat itu berkembang anggapan bahwa status anak angkat seperti anak kandung dalam hal waris, thalaq, perkawinan, hurmat al-mushaharah, dan muharramat al-nikah. Bahkan Zaid saat itu lebih dikenal dan dipanggil dengan nama Zaid ibn Muhammad.

Ketiga, hikmah ijtima’iyah yang dimaksud untuk lebih mempererat ikatan persaudaraan Nabi dengan suku-suku Arab Quraisy dengan menikahi anak tokoh dari suku tersebut. Sebagai contoh perkawinan Nabi dengan Aisyah binti Abu Bakar yang merupakan wanita pujaan kaumnya, dan Hafshah binti Umar yang menjadi buah hati Sibiran tulang ayahnya, terkenal dengan kejujuran dan keikhlasannya.

Keempat, hikmah siyasiyah yang dimaksudkan untuk menarik simpati, mengokohkan ikatan keluarga dan persaudaraan. Sebagai contoh kasus Nabi mengawini Juwairiyah binti al-Harits, bangsawati bani al-Musthaliq yang tertangkap sebagai salah satu tawanan perang. Nabi menawarkan Juwairiyah untuk menikah dengan beliau atau membayar tebusan untuk pelepasan dirinya. Juwairiyah ternyata memilih tawaran menikah dengan Nabi, maka Nabi pun lalu tidak hanya menikahi Juwairiyah tapi juga membebaskan seluruh tawanan perang lainnya. Mengetahui pernikahan Juwairiyah dengan Nabi, kaum bani al-Musthaliqpun merasa terangkat derajat dan martabatnya sehingga akhirnya keluarga Juwairiyah dan seluruh suku bani al-Musthaliq masuk Islam dengan sukarela.

Dari beberapa penjelasan di atas, secara global dapatlah ditegaskan bahwa motivasi dan alasan poligami itu adalah untuk pertolongan, peningkatan pendidikan, mempererat hubungan kekerabatan, dan memperlancar misi dakwah Islam.

Selanjutnya Sayyid Sabiq juga mengemukakan hikmah poligami yang cukup banyak yang ringkasannya adalah sebagai berikut :

1. Memperbesar jumlah umat karena keagungan itu hanyalah bagi yang berjumlah banyak.

2. Mengurangi jumlah janda sambil menyantuni mereka.

3. Mengantisipasi kenyataan bahwa jumlah wanita berlebih/lebih banyak dibandingkan pria.

4. Mengisi tenggang waktu yang lowong karena secara kodrati pria itu lebih panjang masa membutuhkan berhubungan seks, baik karena usia lanjut yang lebih cepat pada wanita dalam hal seks (menopause), ataupun karena tenggang waktu sebab haid dan nifas.

5. Dapat mengatasi kalau istri (pertama) mandul.

6. Di tempat yang menganut pemaksaan monogami terjadi banyak kefasikan, banyaknya pelacur, dan banyak pula anak yang lahir di luar nikah.

Dari uraian Sayyid Sabiq tersebut, ternyata ketimpangan jumlah wanita yang lebih banyak dibanding pria, kebutuhan seksual pria yang tak terpenuhi, dan kemandulan wanita juga bisa dijadikan alasan poligami. Padahal dalam fiqh lima mazhab misalnya, secara eksplisit tidak ada disebutkan khusus alasan-alasan poligami seperti yang diuraikan Ali al-Shabuni maupun Sayyid Sabiq. Sebagai contoh alasan untuk mengakomodir kebutuhan seksual pria yang tak terpenuhi oleh istri, justru dibahas dalam kajian fasakh pada perkawinan karena cacat, tanpa menyinggung masalah poligami.

Poligami

1. INDONESIA

Indonesia memiliki sistem hukum keluarga yang unik, karena campuran antara hukum Islam dan hukum adat. Di bawah pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang, hukum keluarga yang diberlakukan di Indonesia adalah hukum adat yang dimodifikasi dengan hukum Islam. Hal ini telah diatur sejak tahun 1882 dengan peraturan tentang peradilan agama.

Pada tahun 1929, diberlakukanj Ordonansi perkawinan Muslim yang hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Tahun 1946, Indonesia membentuk peraturan tentang pencatatan perkawinan dan perceraian. Sejak tahun 1950-an Indonesia telah berusaha untuk membentuk draft hukum perkawinan yang komprehensif dan dapat diberlakukajn bagi seluruh warga negara. Namujn usaha ini tertunda karena banyaknya hambatan baik dari non muslim maupun kalangan Islam tradisional. Namun akhirnya berkat perjuangan yang tak mengenal lelah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dapat disahkan dan diberlakukan dengan PP Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaannya.

Lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 merupakan kelanjutan dari penjabaran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, khususnya untuk melengkapi hukum materil Peradilan Agama. Oleh karena itu pula, undang-undang perkawinan ini dapatlah dikatakan sebagai langkah awal dari usaha legislasi hukum Islam di Indonesia untuk kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 dan Impres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka prinsip perkawinan di Indonesia adalah monogami. Namun masih dimungkinkan seorang pria melangsungkan poligami maksimal empat dengan persetujuan pengadilan (pasal 3 ayat 2).

Izin beristir lebih dari seorang, termasuk PNS, hanya dapat diberikan apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif, dan ketiga syarat kumulatif. Adapun syarat-syarat alternatif ialah :

a) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau c) istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Sedang syarat kumulatif adalah :

a) ada persetujuan tertulis dari istri-istri; b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak mereka; c) ada jaminan tertulis bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Persetujuan istripun harus dipertegas di pengadilan.

2. MALAYSIA

Sebelum datangnya penjajah, hukum yang berlaku di Malaysia adalah hukum Islam bercampur hukum adat. Setelah Malaysia memperoleh kemerdekaannya, konstitusi federal Malaysia tahun 1957 begitu juga konstitusi federal tahun 1963 mendeklarasikan agama Islam sebagai agama resmi negara. Hukum Islam dan administrasinya diberlakukan secara resmi di seluruh wilayah negara Malaysia meliputi Perak, Selangor, Negeri Sembilan, Pahang Klantan, Trengganu, Kedah, dan Johor. Pada dua negara bagian yaitu Sabah dan Serawak, penduduk muslim merupakan minoritas. Sabah yang memiliki jumlah penduduk muslim lebih sedikit dari Serawak, memakai administrasi hukum Islam pada tahun 1971. Sedang Serawak masih menerapkan Undang-Undang Mahkamah Melayu tahun 1915. Hukum negara-negara bagian di Malaysia memuat ketetapan hukum keluarga melalui pengadilan-pengadilan kathis.

Perundang-undangan Malaysia telah mengalami dua kali pembaharuan. Pertama tahun 1976-1980 yang berisi tentang perkawinan dan perceraian. Lalu pembaharuan yang kedua dilaksanakan tahun 1983-1985 yang diberi nama Islamic Family Law Act. Hukum baru ini dilaksanakan tahun 1983 di Kelantan, Negeri Sembilan, dan Malaka. Kemudian tahun 1984 dilaksanakan di Kedah, Selangor, dan wilayah Persekutuan, serta tahun 1985 dilaksanakan di Penang.

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Malaysia tentang boleh atau tidaknya seorang laki-laki melakukan poligami, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan, yakni syarat-syarat, alasan-alasan boleh tidaknya poligami dan prosedurnya. Namun yang membedakannya dengan perundang-undangan Indonesia ialah Malaysia tidak ada menegaskan tentang prinsip perkawinan, apakah monogami atau poligami. Dari tiga hal penting di atas, penulis akan membatasi masalah pada alasan-alasan yang digunakan oleh pihak suami terhadap keadaan pihak istri bagi kebolehan atau tidaknya poligami.

Dasar perhitungan pengadilan untuk memberi izin atau tidak, dilihat dari pihak istri dan suami. Adapun alasan-alasan dari pihak istri adalah :

(1) kemandulan, (2) karena keuzuran jasmani, (3) karena tidak layak dari segi jasmani untuk bersetubuh, (4) sengaja tidak mau memulihkan hak-hak persetubuhan, atau (5) istri gila.

Sedangkan pertimbangan dari pihak suami adalah :

(1) mampu secara ekonomi untuk menanggung istri-istri dan anak keturunan, (2) berusaha untuk adil di antara para istri, (3) perkawinan itu tidak menyebabkan bahaya terhadap agama, nyawa, badan, akal pikiran atau harta benda istri yang telah lebih dahulu dinikahi, (4) perkawinan itu tidak akan menyebabkan turunnya martabat istri-istri atau orang-orang yang terkait dengan perkawinan, langsung atau tidak.

3. IRAN

Iran dengan Family Protection Act of 1967, yang diperbaharui tahun 1975 membuat cara sendiri untuk menjamin hak-hak wanita dalam praktek poligami (membatasi kemungkinan poligami), yakni sebagai tambahan terhadap ketetapan bahwa suami yang akan dipoligami harus mendapat izin dari pengadilan, yang ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya syarat : (1) kemampuan ekonomi dan (2) berbuat adil di antara para istrinya. Di samping itu harus ada izin/persetujuan dari istrinya atau karena ada sesuatu yang menjadi alasan. Pada pasal 16 disebutkan : “Seorang suami tidak berhak menikah lagi dengan wanita lain (poligami) kecuali ada izin/persetujuan dari istri pertama, atau karena alasan-alasan :

(1) istri pertama tidak mampu berkumpul (bergaul) dengan suami, (2) ada penyakit yang tidak dapat disembuhkan, (3) istri dipenjara minimal lima tahun, (4) kecanduan minum-minuman keras, judi, dan semacamnya, (5) meninggalkan keluarga, (6) hilang.

Sejarah modern Somalia bertitik tolak dari kolonialisasi Inggris dan Italia sejak pertengahan tahun 1980-an. Melalui penjajahan inilah Somalia mengadaptasi berbagai hukum barat (Inggris) seperti hukum waris tahun 1865, Majority Act 1875 dan hukum acara perdata 1908. Setelah merdeka pada bulan Juli 1960, Somalia mulai membentuk hukum dan undang-undang negaranya sendiri. Tetapi selama dekade pertama hal ini berjalan terlalu lambat dan dikuasai oleh status quo. Perubahan penting berlangsung setelah kudeta (cup de etat) militer Jenderal Mohammad Siyad Barre tahun 1969 yang memperkenalkan sosialisme sebagai ideologi resmi.

Di bawah rezim militer sosialis inilah dilakukan berbagai pembaharuan hukum yang banyak bertentangan dengan ketentuan Islam sehingga banyak menimbulkan perlawanan. Pada 11 Januari 1975 diberlakukan undang-undang keluarga Somalia dengan tujuan untuk menghilangkan hukum adat yang dianggap mengganggu kebijakan negara. Meskipun Undang-Undang Keluarga Somalia ini menyatakan didasarkan pada mazhab Syafi’i serta prinsip-prinsip umum dan keadilan sosial, tetapi proses pembentukannya harus diakui membawa begitu banyak korban umat Islam. Presiden Barre misalnya, telah mengeksekusi 10 pimpinan agama karena memprotes secara damai undang-undang tersebut.

Undang-undang keluarga Somalia menetapkan bahwa poligami hanya dapat dilakukan dengan izin pengadilan, karena ada alasan hukum, yakni :

(1) istrinya mandul dengan bukti surat dokter, (2) istri dipenjara lebih dari dua tahun, (3) istri meninggalkan rumah tanpa izin lebih satu tahun, atau (4) ada kebutuhan sosial.

4. TUNISIA

Pasca kemerdekaan pada 20 Maret 1956, Tunia segera menyusun berbagai pembaharuan dan kodifikasi hukum Islam berdasarkan mazhab Maliki dan Hanafi. Upaya pembaharuan ini didasarkan pada penafsiran liberal terhadap Syari’ah, terutama yang berkaitan dengan hukum keluarga. Lahirlah Majallah al-Ahwal al-Syakhsiyyah yang kontroversial. Menurut Esposito, di bawah kepemimpinan Presiden Habib Bourguiba inilah Tunisia menjadi negara Arab pertama yang melarang poligami. Majallah itu sendiri mencakup materi hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak yang berbeda dengan ketetapan hukum Islam klasik. Pada perkembangan selanjutnya, Majallah atau Undang-Undang Status Personal tahun 1956 itu telah mengalami beberapa kali perubahan, penambahan dan modifikasi lebih jauh melalui amandemen undang-undang sampai dengan tahun 1981. Selanjutnya pemerintah Tunisia pada saat itu membentuk suatu komite di bawah pengawasan Syeikh al-Islam yaitu Muhammad Ju’ayad untuk memberlakukan undang-undang secara resmi. Syeikh Universitas Zaituna juga ikut berpartisipasi dalam komite tersebut. Dengan menggunakan sumber-sumber yang diperoleh, dari hasil-hasil komite Lai’hat, hukum keluarga ala Egypt, Yordania, Syiria, dan Turki Usmani Komite tersebut mengajukan draft undang-undang hukum keluarga kepada pemerintah, dan akhirnya diberlakukanlah undang-undang tersebut pada tahun 1956.

Undang-undang tersebut memuat 167 pasal yang ditulis dalam 10 jilid yang dianggap cukup komprehensif, meskipun belum memuat undang-undang kewarisan. Undang-undang ini telah mengalami tujuh kali amandemen selama periode 1958-1966. Terakhir kali undang-undang ini diamandemen pada tahun 1981 (Undang-Undang Nomor 7/1981), yang memperkenalkan beberapa modifikasi penting dari undang-undang sebelumnya.

Adapun alasan pembentukan dan pemberlakuan undang-undang baru Tunisia tersebut adalah :

(i) untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki; (ii) untuk penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri; (iii) untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim; (iv) untuk menyatuhkan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik; (v) untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan modernitas.

Undang-undang Tunisia yang terdiri dari 167 pasal tersebut berlaku untuk semua warga Tunisia, khususnya setelah dicapai kesepakatan dengan Prancis pada tanggal 1 Juli 1957. Dari berbagai pembaharuan yang terdapat dalam undang-undang baru ini, ada dua hal yang (awalnya) mendapat respon negatif dari sejumlah kalangan, yakni larangan poligami dan keharusan perceraian di pengadilan.

Mengenai praktek poligami, Tunisia melarangnya secara mutlak berdasarkan pada teks undang-undang pasal 18 yang dengan tegas menyatakan :

a. Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-beanr berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau dengan kedua-duanya.

b. Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak pernikahan kedua, sementara ia masih terikat perkawinan dengan istri pertama, maka akan dikenakan hukuman yang sama.

c. Siapa yang dengan sengaja menikahkajn seseorang yang dikenai hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman yang sama.

Analisa Perbandingan

Dari deskripsi tentang pengaturan alasan poligami yang dilakukan di negara Indonesia, Malaysia, Iran, Somalia, dan Tunisia, tampaknya ada perkembangan yang menarik untuk mendapat pembahasan dan kajian lebih lanjut.

Secara vertikal, keberanjakan hukum dalam perundang-undangan dilima negara tersebut terlihat dengan jelas melalui pengaturan alasan-alasan poligami dan pelarangan poligami secara mutlak alasan-lasan poligami karena keadaan istri sebenarnya tidak dijumpai secara eksplisit baik pada nash maupun pada pendapat ulama mazhab sebelumnya. Kebanyakan ulama mazhab hanya membahas tentang keadilan dan kemampuan yang disyaratkan bagi suami yang akan melakukan poligami, dan lima mazhab sepakat atas hukum asal poligami yang mubah. Mereka tidak menyinggung sebegitu jauh alasan poligami karena keadaan istri atau melarangnya secara mutlak. Kalaupun ada, alasan-alasan itu bukanlah untuk poligami, tapi digunakan untuk fasakh dalam pernikahan. Sedangkan keempat negara di atas—selain Tunisia yang menolak poligami secara mutlak—mentetapkan alasan-alasan rinci karena keadaan istri yang menyebabkan suami dapat berpoligami. Alasan poligami yang didasarkan pada konteks nash menurut ulama klasik selama ini dipahami adalah untuk pertolongan, yaitu menolong janda dan anak yatim. Sedang dalam undang-undang hukum keluarga keempat negara di atas, alasan pertolongan tersebut sangat implisit yang hanya dapat dipahami dan ditentukan oleh ketelitian hakim. Adapun Tunisia menetapkan larangan poligami yang sama sekali lepas dari kendali teks dan konteks nash serta mazhab Hanafi dan Maliki yang dianutnya.

Secara horizontal, di Indonesia yang umumnya bermazhab Syafi’i walau KHI-nya lintas mazhab, membuat alasan poligami karena keadaan istri dengan syarat alternatif yaitu istri tidak dapat berhubungan seksual, penyakit yang tak dapat disembuhkan, dan mandul.

Begitu juga Malaysia yang bermazhab Syafi’i ternyata menetapkan alasan yang lebih rinci lagi mengenai alasan poligami karena keadaan istri yang mandu, sudah uzur, tidak layak berhubungan seksual, dan gila.

Iran yang bermazhab Syi’ah dan terkenal dengan nikah mut’ahnya sebagai preventif bagi perzinahan, ternyata dalam masalah poligami juga menetapkan alasan-alasan yang cukup banyak yang terkesan memudahkan terjadinya poligami. Alasan-alasan karena istri tidak mampu berhubungan seksual, berpenyakit yang tak dapat disembuhkan, dipenjara, kecanduan miras, judi dan semacamnya, meninggalkan keluarga, dan hilang dapat dijadikan alasan bagi suami untuk berpoligami.

Sedangkan Somalia yang mayoritas penduduknya bermazhab Syafi’i plus hukum adat dalam masalah kewarisan, dalam masalah poligami turut serta menetapkan alasan-alasan poligami karena keadaan istri. Undang-undang Somalia menetapkan alasan hukum karena keadaan istri yang mandul, dipenjara lebih dari dua tahun, meninggalkan rumah tanpa izin lebih dari satu tahun, dan ada kebutuhan sosial.

Adapun Tunisia yang walaupun mayoritas penduduknya bermazhab Hanafi dan Maliki, namun karena pengaruh kultur dan institusi hukum Eropa, khususnya Perancis, serta pemahaman al-Nisa : 129 yang diartikan sebagai ketidakmampuan manusia berlaku adil terkecuali Nabi, maka dalam masalah poligami hukum keluarganya melarang secara mutlak dan tidak memberi sedikitpun peluang pengecualian, bahkan bagi pelanggarnya diancam dengan sanksi hukuman penjara atau denda 240.000 malim atau bisa juga kedua-duanya. Dan tidak hanya pelaku poligami yang diancam, namun orang yang terlibat memudahkan terjadinya praktek poligami tersebut juga diancam dengan hukuman yang sama dengan pelakunya.

Secara diagonal, Tunisia ternyata telah beranjak paling depan dan sangat radikal dengan menutup pintu poligami serapat-rapatnya melalui pelarangan secara mutlak disertai sanksi hukum bagi pelanggarnya. Iran tampaknya juga telah bertindak liberal dengan memasukkan cukup banyak alasan yang tidak ada diatur dalam nash dan tidak pula disebutkan dalam berbagai mazhab fiqh—sekalipun dalam alasan fasakh pernikahan—misalnya alasan kecanduan minum-minuman keras dari hilangnya istri bagi kebolehan poligami. Lalu disusul Malaysia yang sedikit agak liberal di bawah Iran dengan alasan gila yang menimpa istri, kemudian Somalia yang agak moderat dengan alasan ada kebutuhan sosial yang sangat interpretable, dan Indonesia adalah yang paling moderat dengan alasan istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri yang memerlukan ijtihad yang sangat teliti dari hakim untuk membuktikannya dengan peluang 50 : 50, walaupun prinsip perkawinannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 1/1974 adalah monogami.

2. MONOGAMI

Undang-undang 71 Tahun 1974 tentang perkawinan menganut azas monogami (mempersulit poligami), yaitu pria hanya mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya mempunyai seorang suami. Namun demikian hanya apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan pengadilan, seorang pria dimungkinkan beristri lebih dari seorang apabila jaran agama yang dianutnya mengizinkan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlakuserta dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS diterbitkan dan disebarkan di tengah-tengah masyarakat ditujukan agar setiap PNS menyadari apa yang menjadi hak dan kewajibannya sabagai abdi negara dan abdi masyarakat. Adanya aturan tersebut bukan untuk mempersulit kehendak seorang PNS untuk melakukan perkawinan, perceraian ataupun poligami tetapi justru sebagai aturan yang dapat memberikan rasa keadilan dan kemaslahatan.

3. PERCERAIAN

TUNISIA

Mengenai perceraian diatur dalam pasal 30-32. Pasal-pasal ini menyatakan bahwa perceraian hanya bisa dilakukan dan dianggap sah di depan dan dengan keputusan pengadilan. Baik suami maupun istri mempunyai hak yang sama untuk mengajukan gugatan cerai. Putusan perceraian bisa diberikan dengan syarat adanya kesepakatan kedua belah pihak, adanya kesalahan salah satu pihak, dan suami bersikeras untuk menceraikan istri atau sebaliknya. Di samping itu, pengadilan mewajibkan pada suami untuk memberikan sejumlah uang pada istri yang diceraikannya.

SYRIA

Masalah perceraian (talaq) merupakan salah satu persoalan menarik dalam hukum keluarga Syiria karena terkait dengan hak istri untuk mengajukan gugatan cerai kepada suaminya melalui jalur khulu’. Persoalan ini diatur dalam pasal 96-112. Salah satu bunyi ketentuan tersebut adalah bahwa pemberian khulu’ dapat ditarik sebelum diterima oleh pihak lain. Selama masa iddah akibat khulu’, pihak suami tetap berkewajiban memberikan nafkah keapada bekas istrinya, kecuali jika telah ada ketetapan dalam kontak khulu’ sebelumnya. Selain melalui khulu’, istri dapat pula mengajukan pemutusan hubungan perkawinan kepada pengadilan disebabkan kasus-kasus antara lain; suami menderita penyakit yang dapat menghalangi untuk hidup bersama, penyakit gila dari suami, suami meninggalkan istri atau dipenjara lebih dari tiga tahun, suami dianggap gagal memberikan nafkah, dan penganiayaan suami terhadap istri.

MESIR

Seorang istri yang suaminya menikah lagi dengan wanita lain, dapat minta cerai berdasarkan kemudharatan ekonomi yang diakibatkan poligami dan mengakibatkan tidak mungkin hidup bersama dengan suaminya. Hak cerai ini dapat baik ditetapkan atau tidak dalam ta’lik talaq. Jika hakim tidak berhasil mendamaikan, maka perceraianlah yang terjadi. Hak istri minta cerai hilang dengan sendirinya kalau dia tidak memintanya selama masa satu tahun setelah ia mengetahui perkawinan tersebut. Bagi yang melanggar aturan ini dapat dihukum dengan hukuman penjara atau denda, atau kedua-duanya. Hukuman penjara ynag diberikan adalah maksimal 6 bulan atau denda 200 pound Mesir atau keduanya. Disamping itu, hukum keluarga Mesir juga memberikan ancaman kepada orang yang memberikan pengakuan palsu kepada pegawau pencatat tentang status perkawinan atau alamat istri atau istri-istrinya, atau istri yang dicerai. Seorang pegawai pencatat yang lalai atau gagal melakukan tugasnya dapat dihukum dengan hukuman penjara maksimal 1 bulan dan hukuman denda maksimal 50 pound Mesir. Dan pegawai yang bersangkutan di nonaktifkan selama maksimal 1 tahun.

YORDANIA

Mengenai perceraian (talaq) diatur dalam pasal 101 dan 134 undang-undang no. 25 tahun 1977. Menurut pasal-pasal ini, suami harus mencatatkan talaknya kepada hakim. Bila suami telah mentalak istrinya diluar pengadilan, dan ia tidak mencatatkannya dalam masa waktu 15 hari, ia harus datang ke pengadilan syariah untuk mencatatkan talaknya. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat diancam dengan hukuman pidana di bawah ketentuan Hukum Pidana Yordania. Dan jika seorang suami telah mentalk istrinya tanpa ada alasan yang layak dibenarkan, maka istrei dapat mengajukan permohonan ganti rugi ke pengadilan. Ganti rugi yang diberikan tidak boleh lebih dari nafkah selama setahun sebagai tambahan bagi nafkah iddah. Untuk pembayarannya suami dapat mengajukan permohonan untuk mengangsur.

Selain itu, undang-undang No. 25 Tahun 1977 juga mengatur kewenangan istri untuk meminta cerai. Dalam pasal 114, 116, 123, dan 130 dijelaskan bahwa istri memiliki kewenangan untuk meminta cerai dalam kondisi antara lain :

a. Apabila suami menderita impotensi dan sakit yang membahayakan istri apabila mereka hidup bersama. Namun jika penyakit yang di derita suami (selain impotensi) sudah diketahui istri sebelum perkawinan, maka istri tidak mempunyai hak untuk meminta perceraian. Dalam hal penyakit kelamin atau lepra, harus ada pendapat ahli kedokteran. Bila dimungkinkan untuk disembuhkan, maka ditunda selama satu tahun untuk memberi kesempatan penyembuhan.

b. Suami meninggalkan istri dalam jangka satu tahun atau lebih tanpa ada alasan yang jelas, meskipun suami meninggalkan nafkah untuknya.

c. Suami di vonis penjara selama tiga tahun, meski ia mempunyai harta yang cukup untuk menafkahi istrinya selama ia menjalani hukuman. Perkawinan bisa dibubarkan seathun setelah vonis dijatuhkan.

E. PENUTUP

Sebagai penutup dari makalah sederhana ini perlu dikemukakan kesimpulan sebagai berikut :

1.Dalam pandangan Al-Quran disyari’atkan pernikahan adalah bertujuan untuk membangun keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah yang bersifat langgeng.

2.Untuk mempertahankan kelanggengan kehidupan rumah seperti tersebut di atas juga tercermin baik dalam kitab fiqh maupun dalam perundang-undangan negara-negara muslim dewasa ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sulaeman.1996. Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya.

Abdurrahman.1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Akademika Pressindo.

Anderson, J.N.D 1975. Islamic Law in the Modern World. New York :New York University Press.

Anderson, J.N.D. . 1976. Law Reform in the Muslim World. London : University of London Press.

Asfihani, al Garib al-.Tanpa Tahun. Mufradat al Faz al-Quran. TTP : Dar al Katib al-Arabi

Baqi, Muhammad Fuad Abd al-.1987. al- Mu’jam al- Mufahras li al-Faz al-Quran al- Karim. Beirut : Dar al-Fikr.

Cammack,Mark.1993. “Hukum Islam dalam politik Hukum Orde Baru “ dalam Sudirman Tebba (editor ) Perkembangan Hukum Islam di Asia Tenggara Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya. Bandung : Mizan. Hlm. 27-54.

Coulson, N.J. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago dan London: the University of Chicago Press.

Coulson, N.J.1994. A History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Donohue, John J.. dan John L. Esposito.1995. Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-Masalah. Kata Pengantar M. Amin Rais.Terj.Machnun Husein dari judul asli Islam in Transition : Muslim Perspective. Jakarta : Radjawali Press.

Esposito, John L..1982. Women in Muslim Family Law. Syracus: Syracus University Press.

Islam, Negara dan Hukum.1993. – Kumpulan karangan di bawah redaksi Johannes den Heijer dan Syamsul Anwar. Jakarta : INIS.

Jauziyah, Ibn al-Qayyim al. 1955. A’lam al-Muwaqi’in. Mesir: Maktabah at-Tijariyah.

Jaziri, Abd al- Rahman al-. Tanpa Tahun. al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah. Mesir : Maktabah al-Tijariyah al-Kubra.

Mahmood, Tahir. 1972. Family Law Reform in the Muslim World. Bombay:Tripathi.

Mahmood, Tahir.1987. Personal Law in Islamic Countries : History, Text and Comparative Analysis. New Delhi : Academy of Law and Religion.

MD. Moh. Mahfud, Sidik Tono dan Dadan Muttaqien (Editor).1993. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta : UII-Press.

Mu’allim, Amir dan Yusdani. 1999. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta : UII-Press.

Mudzhar, M. Atho. 1998a. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mudzhar, M. Atho.1993. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia : Sebuah Studi Hukum Islam di Indonesia 1975-1988. Disertasi pada UCLA Terj.Soedarso Soekarno dari judul Bahasa Inggris Fatwas of The Council of Indonesian Ulama : A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988. Edisi Dwibahasa (Indonesia dan Inggris ). Jakarta :INIS.

Mudzhar, M. Atho.1999. Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi Hukum Islam, 15 September 1999. Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga.

Mudzhar, M. Atho’.1998. Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

Mudzhar, M. Atho’.1999. “ Dampak Gender Terhadap Perkembangan Hukum Islam” dalam Profetika Jurnal Studi Islam, Vol.1 No.1 1999. Hlm.110-123.

Na’im, Abdullahi Ahmed. 1990. Toward an Islamic Reformation : Civil Liberties, Human Rights and International Law. New York :Syracus University Press.

Powers, David S. 1986. Studies in Quran and Hadith : The formation of Islamic of Inheritance, Berkley: University of California Press.

Qasimi, Muhammad Jamaluddin al-. Tanpa Tahun. Mahasin al- Ta’wil Juz XIII. Beirut : Dar al Fikr.

Qurtubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Ansari al-.1967. al – Jami’u li Ahkam al- Quran Juz XIV. Kairo : Dar al Katib al-Arabi.

Rahman, Fazlur.1970. Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law : Shaikh Yamani on Public Interest in Islamic Law. International Law and Politic.

Rahman, Fazlur.1980. Major Themes of the Quran. Chicago : Bibliotheca Islamic.

Sabuni, Muhammad Ali as-. 1972. Rawai’ al Bayan :Tafsir Ayat al-Ahkam min Alquran. Kuwait : Dar Alquran al-Karim.

Schacht, Joseph.1960. “Problems of Modern Islamic Legislation”. Dalam Studica Islamica, vol. 12, hlm. 120.

Schacht, Joseph.1971. An Introduction to Islamic Law. London :Oxford at the Clarendon Press.

Siraj, Muhammad. 1993. “ Hukum Keluarga di Mesir dan Pakistan “ dalam Islam, Negara dan Hukum. Seri INIS XVI Kumpulan Karangan di Bawah Redaksi Johannnes den Heijer, Syamsul Anwar. Jakarta : INIS. Hlm. 99-115.

Syahrur, Muhammad. 1990.al-Kitab wa Alquran Qiraah Mu’asirah. Qahirah : Sina li al- Nasyr wa al-Ahali.

Syatibi, Asy.Tanpa Tahun. Al-Muwafaqat fi Usul asy- Syari’ah. Kairo : Mustafa Muhammad.

Syawaf, Munir Muhammad Tahir.1993. Tahafut al-Qira’ah al-Mu’asirah. Limassol – Cyprus.

Tim Redaksi. 1996.Insklopedi Hukum Islam. Jakarta: P.T. Ichtiar Baru van Hoeve

Yusdani. 2000. Peranan Kepentingan Umum Dalam Reaktualisasi Hukum : Kajian Hukum Islam Najamuddin At-Tufi. Yogyakarta : UII-Press.

Razi, al-Fakhr al-.Tanpa Tahun. Al-Tafsir al-Kabir. Teheran :Dar al-Kutub al-Ilmiyat.

Mulia , Siti Musdah , Muslimah Reformis : Perempuan Pembaharu Keagamaan, Mizan , Bandung , 2005

Abdurrahman S.H , Himpunan Perundang-undangan tentang Perkawinan , CV Akamedika Pressindo , Jakarta , 1986

Umar , Nasaruddin , Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif Al Qur'an , Paramadina , Jakarta 2001

Wieringa , Saskia , Kuntilanak Wangi : Organisasi-organisasi Perempuan di Indonesia Sesudah 1950 , Kalyamitra , Jakarta , 1998

Wieringa , Saskia , Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia , Garba Budaya , Jakarta , 1999

Modul Pelatihan Bagi Pengurus , Hukum Keluarga , LPPKS-BKPRMI Jawa Barat , Bandung , 1998

Jurnal Perempuan no 31 , Menimbang Poligami , Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta , 2003

Baca Selengkapnya....