Rabu, 24 Desember 2008

Jati Diri Wanita Indonesia

JATI DIRI WANITA INDONESIA DALAM DIRI R.A. KARTINI DAN DEWI SARTIKA Bangsa yang besar adalaha bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Di Indonesia banyak tokoh perempuan yang concern terhadap upaya menciptakan persamaan hak laki-laki dan perempuan serta memiliki harapan menciptakan kesempatan pendidika bagi perempuan. Setidaknya kita mengenal dua tokoh besar dalam pergerakan wanita. Yaitu R.A. Kartini (1879-1904) dan Dewi Sartika (1884-1947). Kedua tokoh wanita ini sama sama memperjuangkan agar wanita Indonesia setara dengan pria memiliki hak bukan hanya kewajiban dan juga bisa sejajar dengan wanita-wanita dari Negara lain. R.A Kartini dan Dewi Sartika adalah pahlawan nasional yang mendorong emansipasi wanita. RA. KARTINI Siapa yang tidak kenal dengan R.A Kartini. Wanita kelahiran 21 April 1879 ini merupakan perintis perubahan bagi kaum wanita. Lahir dari keluarga bangsawan yang berpikiran maju, keluarganya sangat mengedepankan pendidikan, dan sosoknya cekatan, lincah, pintar, suka belajar serta haus akan ilmu pengetahuan. Keluarga Kartini memang keluarga intelektual yang menyadari pentingnya lmu pengetahuan bagi pertumbuhan dan perkembangan diri. Banyak diantara kita masih banyak yang salah tafsir dengan ajaran Kartini. Kartini bukan menuntut persamaan hak antara wanita dengan pria. Kartini hanya menuntut supaya wanita bisa memperoleh pendidikan yang semestinya. Bagi generasi muda Indonesia, sosok R.A Kartini mengajarkan banyak hal. Pertama, R.A Kartini berumur sangat pendek karena beliau meninggal di usia 25 tahun pada tahun 1904. Seorang wanita muda, bahkan sangat muda, yang hidupnya dipingit dan dibatasi oleh segala bentuk tata krama yang kolot, bisa menjadi sosok yang begitu besar dan begitu inspirasional. Kenyataan banyak dari kita yang sudah berusia lebih lanjut dari R.A Kartini belum mulai berbuat sesuatu untuk sesama dan lingkungan sekitar apalagi berprestasi. Kedua, saat beliau wafat dalam usia yang begitu muda, berarti prestasinya sudah diukir jauh-jauh hari sebelumnya. R.A Kartini hanya mengenyam pendidikan formal selama 12 tahun dan setelah itu mulai dipingit di dalam rumahnya oleh ayahnya yaitu Raden Mas Sosroningrat yang saat itu menjabat sebagai Bupati Jepara. Keadaan tersebut yang membuat R.A Kartini memberontak namun tidak membangkang terhadap orangtuanya. Pada saat itu untuk melawan segala keterbatasan sosial dan fisik , beliau melengkapi dirinya secara intelektual. Alhasil, walaupun gerakannya terbatas oleh tembok rumah, kemampuan intelektual R.A Kartini justru mendunia. Ia mendidik dirinya secara otodidak. Padahal saat itu ia masih berusia 12 tahun atau setingkat dengan kelas enam SD saat ini. Kartini muda mulai dengan menulis banyak surat dan membangun jaringan teman penanya diseluruh dunia, terutama di Eropa. Surat-surat R.A Kartini yang berjumlah ratusan dan ditulis selama bertahun-tahun mengungkapkan rasa senang, sedih, kecewa, putus asa, harapan dan kenyataan. Lewat tulisannya itulah Kartini tidak hanya dikenal di Belanda dan Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Karena kumpulan suratnya dibukukan dan diterjemahkan kedalam berbagai bahasa didunia dan di baca banyak orang. Buku kumpulan surat Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang” (Door Duisternist tot Lincht) diterbitkan pertamakali pada tahun 1911 di Belanda atas prakarsa Menteri Kebudayaan, agama dan Kerajaan Hindia Belanda, Mr JH Abendanon. R.A Kartini seorang perempuan yang luar biasa, sosok yang lebih maju daripada perempuan pada umumnya di zaman ketika beliau hidup. Hal ini terlihat dari cara beliau menuturkan pemikirannya, sikap dalam menjalani hidup serta tindakan nyata yang dilakukannya dalam menjawab pertanyaan sosial. Beliau dapat mengemukakan pikirannya dengan lugas dan cerdas sehingga banyak simpati publik terutama pemerintah Belanda. Ditambah lagi dengan kedekatan ayahnya dengan pemerintah Belanda. Di Indonesia, tanggal 21 April memiliki kesakralan yang terus dipertahankan. Tanggal tersebut kembali mengingatkan pada lahirnya seorang pejuang perempuan Indonesia dan sebagai cikal bakal munculnya emansipasi perempuan dan wujud penghargaan atas jasa-jasanya memerdekakan dan memberi peluang pendidikan bagi wanita. Bukan hal aneh, perayaan hari Kartini diisi dengan berbagai kegiatan terutama anak-anak perempuan usia TK dan SD bahkan penyiar perempuan beberapa televisi swasta tampaknya sudah menjadi keharusan pada tanggal tersebut berdandan seperti seorang Kartini yaitu berkebaya, kain, lengkap dengan sanggulnya. DEWI SARTIKA Dilahirkan dari keluarga bangsawan Sunda, Nyi Raden Rajapernas dan raden Somanagara tanggal 4 Desember 1884 di Bandung. Sepeninggal bapaknya Uwi (panggilan Dewi sartika) dirawat oleh pamannya yang menjabat sebagai patih di Cicalengka, sejak kecil sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihannya untuk meraih kemajuan. Pada tahun 1902 Dewi Sartika mulai memberikan pengajaran membaca, menulis, perempuan dibelakang rumah ibunya. Kegiatan tersebut tercium oleh C. Den Hammer pejabat Inspektur Pengajaran Hindia Belanda di Bandung. Pada awalnya pemerintah Belanda menilai kegiatan Dewi Sartika sebagai kegiatan liar yang membahayakan dan patut dicurigai. Keinginan untuk mendirikan sekolah wanita sulit bagi Dewi Sartika, walaupun paman nya seorang Bupati martanagara, adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namun karena kegigihan dan semangat yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika dapat menyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan. Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, guru Eerste Klasse School (pada waktu itu merupakan Sekolah latihan Guru) yang memiliki visi dan cita-cita yang sama. Tanggal 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid dengan jumlah murid 20 orang menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung. Setahun kemudian, sekolahnya menambah kelas sehingga kmudian pindah ke jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lulusan pertama keluar tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tidak ada bedanya dengan laki-laki. Pada tahun-tahun berikutnya, diwilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Semangat ini menyeberang sampai ke Bukittinggi. Tahun 1914 nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan) dengan mengadaptasi kurikulum Tweede Klasse School. Pada tanggal 16 Januari 1939 Dewi sartika mendapatkan Bintang Emas dari pemerintah Belanda sebagai penghargaan atas jasa-jasa, dan sebelumnya juga memperoleh Bintang Perak dari pemerintah Belanda. Selanjutnya tanggal 1 Desember 1966 Presiden Soekarno menetapkan Dewi Sartika sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Tanggal 11 September 1947 di Tasikmalaya Dewi Sartika menghembuskan nafas terakhirnya, dimakamkan dipemakaman Cigagadon kecamatan Cineam, tiga tahun kemudian dipindahkan ke komplek Pemakaman Bupati Bandung Karang Anyar Bandung. Nina Lubis, sejarawan dari sastra Universitas Padjajaran melihat bahwa perjuangan emansipasi perempuan yang digelorakan R.A Kartini hanya sebatas ide atau gagasan. Apa yang telah dilakukan Dewi Sartika justru dengan pelaksanaannya langsung. Ia benar-benar mendirikan institusi pendidikan pertama bagi kaum perempuan dinegeri ini. Tidak saja dengan pikiran dan tenaga, tetapi juga dengan biaya sendiri. Sebuah impian yang tidak pernah tercapai oleh R.A Kartini semasa hidupnya. Sekolah R.A Kartini baru didirikan sebelas tahun setelah kematiannya, itu pun atas usaha dan kerja keras Roekmini dan Kardinah (adik-adik nya). KESIMPULAN R.A Kartini mempunyai kemampuan mengungkapkan dan menggambarkan peristiwa yang dialaminya dalam bentuk tulisan dengan sangat cermat. Sehingga proses perjuangan Kartini dengan sangat indah, lengkap terekam dalam bentuk tulisan nya sebagai provokasi (mempengaruhi pikiran oranglain), yang hampir tidak dimiliki oleh pejuang wanita lain. Kedekatan beliau dengan beberapa orang-orang Belanda turut mengharumkan namanya di mata dunia. R.A Kartini telah menyimpan percikan-percikan pikirannya dalam bentuk tulisan sehingga suatu saat nanti, percikan itu membesar dan berkobar sebagai api semangat perjuangan. Walaupun pada saat itu R.A Kartini sadar bahwa ia tidak akan hidup panjang dan tidak akan menyaksikan perwujudan cita-citanya. Tapi ia terus menulis dan tetap menulis. Dewi Sartika berhasil dalam mewujudkan cita-citanya mendirikan Sekolah Perempuan se-Hindia Belanda dan menyakini bahwa pendidikan menjadi sarana yang mensejajarkan posisi laki-laki dan perempuan dalam ruang sosial. Dewi Sartika mampu mendobrak tradisi ortodok yang sangat tidak berpihak kepada kaum perempuan. Wajah-wajah R.A Kartini dan Dewi Sartika pada zaman sekarang sudah banyak terlihat. Wanita Indonesia saat ini sudah jauh lebih modern, dunia kerja pun tak lagi didominasi kaum laki-laki. Emansipasi perempuan yang digaungkan, membuka peluang perempuan dalam berkarier dan membuka lebar-lebar peluang bagi perempuan menjadi seorang pemimpin. Kedua pahlawan wanita tersebut merupakan cermin sejarah gelora perjuangan perempuan Indonesia di masanya dan juga sebagai pejuang wanita yang merintis kesamaan hak wanita dan pria. Hasilnya, sekarang wanita mampu berdiri sama tinggi, sejajar dengan kaum pria. Perjuangan mereka membuka peluang perempuan Indonesia untuk berkarir lebih luas diluar urusan rumah tangga dengan tetap tidak meninggalkan kodratnya sebagai ibu sekaligus istri. Tak Jarang perempuan harus berakrobat dalam memenuhi kewajibannya sebagai seorang karyawati, Ibu dan istri. Baginya kesemuanya harus dijalankan dengan sebaik-baiknya dalam rangka beribadah kepada Allah. (Daftar Pustaka ; Sumber-sumber dari internet) Baca Selengkapnya....