Kamis, 08 Januari 2009

Pendidikan

PENTINGNYA PENDIDIKAN DAN PENGALAMAN • Semua kita atau siapa saja memahami bahwa orang tua dan generasi penerusnya selalu `merindukan bagaimana mendapatkan hidup bahagia dan cemerlang untuk dirinya dan `sesamanya. Tak heran jika lembaga-lembaga pendidikan kebanjiran para penuntut ilmu `(siswa dan mahasiswa). Telah tumbuh dan berkembang perguruan- perguruan, mulai taman `kanak-kanak (TK) sampai perguruan tinggi negeri/swasta (PTN/PTS) di seluruh tanah `air. Setiap tahun terdapat jutaan orang muda membanjiri PTN/PTS.. Belakangan ini di `antara lulusan PTN dan PTS itu ada yang mencapai tingkat Magister (S2), Doktor (S3) `dan studi lanjut setelah Doktor (post doctorat). • Pada akhir-akhir ini telah terjadi gejala baru di tengah-tengah masyarakat ilmuwan, yaitu sangat besar jumlah pencari kerja atau penganggur baik dari kalangan yang tidak/kurang terdidik sampai lulusan perguruan tinggi. Kebanyakan dari para penganggur terdidik itu lulusan fakultas dari ilmu-ilmu sosial bahkan dari lulusan ilmu-ilmu eksakta, diantaranya lulusan dari fakultas pertanian, teknik, dan kedokteran. Banyaknya pengangguran dari kalangan putus sekolah, lulusan SD-SLA, fakultas-fakultas sosial/keguruan, sudah menjadi berita biasa. Realita di atas membuat orang muda kehilangan semangat dan motivasi dalam menempa diri, dengan cetusan hati sebagai berikut : "buat apa capek-capek belajar dengan serius, pada akhirnya hanya untuk menambah kuantitas pengangguran intelektual saja". • Kita mesti berusaha mendapatkan pekerjaan yang cocok, jika belum diperoleh maka jangan jemu apa lagi putus asa, terus berusaha dengan cara: (1) supaya sebanyak mungkin orang lain mengetahui kebolehan/keahlian yang kita miliki, (2) membina diri agar menjadi insan yang berkualitas sehingga mereka dapat menciptakan pekerjaan untuk diri sendiri dan jika mungkin untuk orang lain.Fakta menunjukkan bahwa dengan penuh kegigihan orang-orang muda mengikuti terapi tersebut, pada gilirannya mereka menemukan pekerjaan yang dapat menolong kehidupannya. Dengan kata lain, kita mesti optimis, kreatif dan rajin berkomunikasi dengan siapa saja yang pada gilirannya akan dapat membantu atau membuka jalan yang pada gilirannya seseorang mendapatkan pekerjaan atau karier yang menjadi lahan memperoleh rezeki di muka bumi ini. Ada tiga teori dalam kemunculan para pemimpin di dunia ini, yaitu : 1. Teori genetik (keturunan) : Pangeran Charles, Hamengku Buwono X, Gus Dur, Megawati 2. Teori sosial Gorbachev, George Bush, Yasser Arafat mencuat kepermukaan dan tampil mengagumkan bukan karena leluhur mereka, tetapi karena keadaan social dan lingkungan telah menempa diri dengan baik, ada peluang yang membuat diri orang itu muncul kepermukaan . 3. Teori lingkungan : Dalam masa yang sedang labil dan keadaan tidak menentu tidak jarang terjadi muncul pemimpin yang dominan pada mereka bukan dari kalangan aristokrat tapi dari rakyat biasa seperti Napoleon, Hitler, Suharto yang pada gilirannya mereka mencapai puncak kekuasaan yang tidak pernah diduganya Ada juga orang-orang yang sukses sebagai ilmuan, pioner dalam bidang iptek dan sosial, ekonomi, dan politik seperti Iqbal, Tagore, dan Habibie. Mereka berasal dari kalangan elit dalam masyarakatnya, kemudian menempa diri secara optimal melalui pendidikan dan pengalaman yang panjang ( teori genetik dan lingkungan ). Kebanyakan dari mereka menjadi berhasil atau tampil menjadi pemimpin atau tokoh dalam bidangnya masing-masing setelah melalui proses pembinaan/pendidikan/latihan yang panjang dan berliku-liku . Sudah pasti bahwa orang-orang terkenal seperti di atas, bukanlah terdiri orang-orang yang selalu santai, malas dan semacamnya ketika mereka masa muda dulu, tetapi mereka yang pernah menempa diri dengan belajar yang baik, disiplin, ulet, tahan uji,etos kerjanya tinggi, lalu berjuang dengan gigih dalam mencapai cita-cita yang agung dan mulia di dunia nyata baik secara lokal, regional, nasional dan internasional. PENDIDIKAN DAN KESUKSESAN HIDUP • Kita harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang optimal sehingga menjadi profesional dalam satu atau dua atau lebih dari dalam kehidupan yang nyata baik yang bersifat fisikal atau non fisikal. • Berusaha agar orang lain atau jika mungkin satu/beberapa perusahaan mengenal dan mengetahui tentang keahlian yang kita miliki sehingga mereka mungkin menggunakan (memesan) keahlian yang kita miliki untuk mereka manfaatkan. • Dalam menggeluti pekerjaan apa saja tunjukkan hasil kerja (prestasi) yang prima/optimal dan dengan penuh tanggung jawab (accountability) serta jauhkan diri dari segala sesuatu yang arogan. • Adanya kemampuan untuk berinteraksi dengan baik dan harmonis (human relation) dengan sesamanya dan dengan atasan/bawahannya serta bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. • Sangat perlu adanya kejujuran, disiplin, keuletan, kesabaran dalam berbagai aspek dalam kehidupan dalam ruang/tempat kerja dan di luarnya termasuk dalam keluarganya. • Sadarilah bahwa bekerja adalah termasuk salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT di samping berbagai jenis ibadah lainnya terutama ibadah ubudiyah kepadaNya. Baca Selengkapnya....
Baca Selengkapnya....

Pernikahan Dini

PERNIKAHAN DINI DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN NEGARA Isu pernikahan dini saat ini marak dibicarakan. Hal ini dipicu oleh pernikahan Pujiono Cahyo Widianto, seorang hartawan sekaligus pengasuh pesantren dengan Lutviana Ulfah. Pernikahan antara pria berusia 43 tahun dengan gadis belia berusia 12 tahun ini mengundang reaksi keras dari Komnas Perlindungan Anak. Bahkan dari para pengamat berlomba memberikan opini yang bernada menyudutkan. Umumnya komentar yang terlontar memandang hal tersebut bernilai negatif. Di sisi lain, Syeh Puji, begitu ia akrab disapa berdalih untuk mengader calon penerus perusahaannya. Dia memilih gadis yang masih belia karena dianggap masih murni dan belum terkontaminasi arus modernitas. Lagi pula dalam pandangan Syeh Puji, menikahi gadis belia bukan termasuk larangan agama. Sebenarnya kalau kita mau menelisik lebih jauh, fenomena pernikahan dini bukanlah hal yang baru di Indonesia, khususnya daerah Jawa. Penulis sangat yakin bahwa mbah buyut kita dulu banyak yang menikahi gadis di bawah umur. Bahkan—jaman dulu—pernikahan di usia ”matang” akan menimbulkan preseden buruk di mata masyarakat. Perempuan yang tidak segera menikah justru akan mendapat tanggapan miring atau lazim disebut perawan kaseb. Namun seiring perkembangan zaman, image masyarakat justru sebaliknya. Arus globalisasi yang melaju dengan kencang mengubah cara pandang masyarakat. Perempuan yang menikah di usia belia dianggap sebagai hal yang tabu. Bahkan lebih jauh lagi, hal itu dianggap menghancurkan masa depan wanita, memberangus kreativitasnya serta mencegah wanita untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas. Pernikahan Dini menurut Negara Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas tahun) tahun.[1] Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental. Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Pernikahan Dini menurut Islam Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.[2] Agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai pernikahan dini. Pernikahan yang dilakukan melewati batas minimnal Undang-undang Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah. Istilah pernikahan dini menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama, pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh. Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para sarjana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut. Pendapat yang digawangi Ibnu Syubromah menyatakan bahwa agama melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan. Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya. Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari QS. al Thalaq: 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat. Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah terpatahkan.[3] Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis dua hadis yang cukup menarik dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara/kafaah”.[4] Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas orang tuanya”.[5] Pada hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Hemat penulis, pernikahan dini merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’ kenapa tidak ? Penutup Substansi hukum Islam adalah menciptakan kemaslahatan sosial bagi manusia pada masa kini dan masa depan. Hukum Islam bersifat humanis dan selalu membawa rahmat bagi semesta alam. Apa yang pernah digaungkan Imam Syatiby dalam magnum opusnya ini harus senantiasa kita perhatikan. Hal ini bertujuan agar hukum Islam tetap selalu up to date, relevan dan mampu merespon dinamika perkembangan zaman.[6] Permasalahan berikutnya adalah baik kebijakan pemerintah maupun hukum agama sama-sama mengandung unsur maslahat. Pemerintah melarang pernikahan usia dini adalah dengan pelbagai pertimbangan di atas. Begitu pula agama tidak membatasi usia pernikahan, ternyata juga mempunyai nilai positif. Sebuah permasalahan yang cukup dilematis. Menyikapi masalah tersebut, penulis teringat dengan gagasan Izzudin Ibn Abdussalam dalam bukunya Qowa’id al Ahkam. Beliau mengatakan jika terjadi dua kemaslahatan, maka kita dituntut untuk menakar mana maslahat yang lebih utama untuk dilaksanakan.[7] Kaedah tersebut ketika dikaitkan dengan pernikahan dini tentunya bersifat individual-relatif. Artinya ukuran kemaslahatan di kembalikan kepada pribadi masing-masing. Jika dengan menikah usia muda mampu menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan, maka menikah adalah alternatif terbaik. Sebaliknya, jika dengan menunda pernikahan sampai pada usia ”matang” mengandung nilai positif, maka hal itu adalah yang lebih utama. Wallahu A’lam Daftar Pustaka : 1. UU Perkawinan di www.depag.go.id . 2. Ibrahim, al Bajuri hlm. 90 vol. 2 Toha Putra, Semarang. 3. Ibnu Hajar al ’Asqalani, Fathul Bari vol.9 hlm.237 Darul Kutub Ilmiah, Beirut. 4. Jalaluddin Suyuthi, Jami’ al Shaghir hlm.210 Darul Kutub Ilmiah, Beirut. 5. Ibid, hlm.501. 6. Imam Syatibi, al Muwafaqot hlm.220 Darul Kutub Ilmiah, Beirut. 7. Izzudin Ibn Abd. Salam, Qowa’id al Ahkam hlm.90 vol.II Darul Kutub Ilmiah, Beirut. Baca Selengkapnya....

Perhatian !!!

" orang yang tidak mau melihat akan buta, yang tidak mau mendengar akan menjadi tuli, yang malas akan menjadi kemiskinan dan kebodohan, yang tidak percaya akan jatuh kedalam dosa " Nabi Sulaiman " Tidak ada salah mencoba hal yang baru, dari pada hanya menonton keberhasilan orang lain " Argo .- Baca Selengkapnya....