Selasa, 10 Maret 2009

ADOPSI DAN STATUS HUKUM ANAKNYA

Adopsi mempunyai dua pengertian, ialah :

1. Mengambil anak orang lain untun diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri, tanpa memberi status anak kandunh kepadanya

2. Mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak- hak lainnya sebagai hubungan anak dan orang tua.

Pengertian kedua dari adopsi diatas adalah pengetian menurut istilah di Kalangan agama dan adat di masyarakat. Dan adopsi menurut istilah ini telah membudaya di muka bumi ini, baik sebelum islam maupun sesudah islam, termasuk di masyarakat Indonesia.

Adopsi di Indonesia pada umumnya dilakukan dengan memakai upacara keagamaan dan dengan pengumuman dan penyaksian pejabat dan tokoh agama agar terang (clear) statusnya. Dan setelah selesai upara adopsi , maka si anak menjadi anggota penuh dari kerabat yang mengangkatnya, dan terputus hak warisnya dengan kerabatnya yang lama, seperti di Bali.

Di Sulawesi Selatan, anak angkat masih ada hubungan waris dengan orang tua kandung dan keluarganya, dan ia tidak berhak sebagai ahli waris dari orang tua angkat dan keluarganya, tetapi ia bisa di beri hibah atau wasiat. Menurut hemat penulis, praktek hukum keluarga atu hukum waris semacam ini di Sulawesa Selatan adalah akibat pengaruh Islam yang kuat di daerah ini. Demikian pula di Jawa, anak angkat masih tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan keluraganya, dan ia pun berhak pula sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya, hanya terbatas pada harta peninggalan selain barang- barang pusaka yang berasal dari warisan yang harus dikembalikan kepada kerabat si suami atau si istri. Menurut B. Ter. Haar Bzn, hak waris anak angkat di Jawa seperti tersebut ( tidak penuh hak warisnya atas harta peninggalan orang tua angkat), adalah karena adopsi di Jawa itu bukan urusan kerabat dan pelaksanaannya tidak dibuat “terang”, artinya tidak pakai upacara keagamaan dan disaksikan oleh pejabat tokoh agama. Menurut B. Ter Haar Bzn, di Minangkabau tampaknya tidak ada adopsi dan kalau hal ini benar menurut hemat penulis, karena pengaruh agama Islam yang cukup kuat di daerah itu.

Bagaimana pandangan Islam tentang adopsi? Apabbila adopsi atau tabbani ( bhs. Arab) diartikan sebagai “pengangkatan anak orang lain dengan status seperti anak kandung “, maka jelas Islam melarang sejak turun Surat Al- Ahzab ayat 37:

Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia (setelah habis masa idahnya ) supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini istri- istri anak – anak angkat mereka , apabila anak – anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istri – istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.

Ayat ini merupakan rangkaian ayat-ayat Alquran yang menceritakan tentang kasus rumah tangga Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti Jahsy. Zaid adalah bekas budak yang dimerdekakan oleh Nabi, kemudian dikawinkan dengan Zainab, saudara sepupu Nabi sendiri. Suami istri ini adalah orang-orang baik dan taat pada agama. Namun rumah tangganya tidak bahagia, karena perbedaan status sosialnya yang jauh berbeda. Sebab Zainab dari kalangan bangsawan, sedangkan Zaid adalah bekas budak, meskipun Islam tidak mengenal diskriminasi berdasarkan ras, bangsa/suku bangsa, bahasa dan sebagainya. Zaid menyadari hal itu ( ketidakharmonisan rumah tangganya) dan tepa selira, maka ia mohon izin kepada nabi untuk menceraikan istrinya, tetapi nabi menyuruh agar ia tetap mempertahankan rumah tangganya. Dan ia pun mentaatinya. Namun, setelah ternyata rumah tangga Zaid tetap tidak harmonis, dan semua Sahabat dan masyarakat tahu, maka akhirnya perceraian Zaid dengan Zaenab di izinkan, dan bahkan setelah habis idahnya, Nabi di perintahkan oleh Allah untuk mengawini Zaenab, bekas anak angkatnya.

Surat Al- Ahzab ayat 37 yang menerangkan kasus Zaid dengan Zaenab di atas adalah untuk menegaskan, bahwa:

1. Adopsi seperti praktek di zaman jahiliyah yang memberi status kepada anak angkat sama dengan status anak kandung tidak dibenarkan ( dilarang) dan tidak diakui oleh Islam;

2. Hubungan anak angkat dengan orang tua angkat dan keluarganya tetap seperti sebelum diadopsi , yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan , baik anak angkat itu diambil dari intern kerabat sendiri , seperti di Jawa, kebanyakan kemenakan sendiri diambil sebagai anak angkatnya, maupun diambil dari luar lingkungan kerabat.

Namun, melihat hubungan yang sangat akrab antara anak angkat dan orang tua angkat , sehingga merupakan suatu kesatuan keluaga yang utuh yang diikat oleh rasa kasih sayang yang murni, dan memperhatikan pula pengabdian dan jasa anak angkat terhadap rumah tangga orang tua angkat termasuk kehidupan ekonominya, maka sesuai dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi oleh Islam, secara moral orang tua angkat dituntut memberi hibah atau wasiat sebagian hartanya untuk kesejatera anak angkatnya. Dan apabila orang tua angkat waktu masih hidup lalai memberi hibah atau wasiat kepada anak angkat, maka seyogyanya ahli waris orang tua angkatnya bersedia memberi hibah yang pantas dari harta peninggalan orang tua angkat yang sesuai dengan pengabdian dan jasa anak angkat.

Demikian pula hendaknya angkat yang telah mampu mandiri dan sejatera hidupnya, bersikap etis dan manusiawi terhadap orang tua angkatnya dengan memberi hibah atau wasiat untuk kesejahteraan orang tua angkatnya yang telah berjasa membesarkan dan mendidiknya. Dan kalau anak angkat lalai memberi hibah atau wasiat untuk orang tua angkatnya, maka hendaknya ahli waris anak angkat mau memberi hibah yang layak dari harta warisan anak angkat untuk kesejahteraan orang tua angkatnya.

Sikap orang tua angkat atau ahli warisnya dan sebaliknya dengan pendekatan hibah atau wasiat sebagaimana diuraikan di atas, selain sesuai dengan asas keadilan Islam, juga untuk menghindari konflik antara orang tua angkat/ ahli warisnya dan anak angkat/ ahli warisnya , apalagi kalau mereka yang bersangkutan menuntut pembagian harta warisan menurut hukum adat yang belum tentu mencerminkan rasa keadilan menurut pandangan Islam.

Kalau kita perhatikan motif- motif adopsi di kalangan masyarakat Indonesia bermacam- macam. Ada yang bermotif agar keluarga yang tidak mempunyai anak itu memperoleh anak cucu yang akan meneruskan garis keturunannya, maka dalam hal ini Islam melarangnya. Ada yang bermaksud agar keluarga yang belum dikaruniai anak itu mendapat anak sendiri ( jadi semacam untuk mencari berkah atau pancingan ( Jawa), atau mempunyai tujuan mendapat tenaga kerja; atau karena kasihan terhadap anak- anak kecil yang menjadi yatim piatu, dalam hal ini islam tidak melarangnya, selama anak angkat tersebut tidak diberi status sebagai anak kandung sendiri , yang mempunyai hubungan kewarisan dan lain- lain.

Di kota, terkadang diketemukan bayi yang baru lahir hidup (life birth ) yang di buang oleh orang tua/ keluarga, karena bayi lahir itu di luar perkawinan sebagai akibat kumpul kebo atau free sex; atau bayi itu dibuang atau ditinggalkan di rumah sakit, karena yang bersangkutan tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya; maka Islam memandang orang- orang tersebut tidak bertanggung jawab yang menyebababkan terlantarnya bayi, bahkan bisa berakibat kematian. Karena itu berdosa besarlah mereka itu dan dapat dihukum, karena mereka melakukan tindak pidana ( jarimah/ jinayah, bhs. Arab). Pada sisi lain, Islam mewajibkan siapa saja yang menemukan bayi terlantar untuk segera menyelamatkan jiwanya; berdosalah orang yang membiarkannya dan mendapat pahala orang yang menyelamatkannya, sebagaimana tersebut dalam Al- Qur’an Surat Al- Maidah ayat 32:

Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah- olah memelihara kehidupan manusia semuanya.

Apabila bayi yang tidak diketahui asal usulnya itu didatangi oleh suatu keluarga Muslim yang mengaku bahwa bayi itu adalah anaknya dan ia yakin bahwa bayinitu bukan anak orang lain ( dengan adanya tanda/ ciri- ciri ), maka demi menjaga kehormatan dan nama baik anak itu di tengah- tengah masyarakat dengan adanya orang tuanya yang jelas, dapatlah ditetapilakan hubungan nasab tersebut dengan bapak/ keluarga yang mengakuinya; dan terjadilah hubungan kemahraman dan kewarisan antara keduanya.

Apabila tidak ada seorangpun yang mau mengakui bayi tersebut, maka ia tetap berada di bawah perlindungan dan perwalian orang yang memungutnya. Dan wali inilah yang bertanggung jawab mengusahakan kesejahteraan hidupnya, jasmani dan rohaninya, termasuk pendidikan, pengajara n, dan keterampilannya, agar kelak anak itu menjadi manusia yang saleh, yang berguna untuk dirinya sendiri, keluarga, umat dan negara.

Untuk mencukupi semua kebutuhan hidup anak tersebut, walinya berhak meminta bantuan keuangan dari Baitul Mal . Jika Baitul mal itu tidak ada atau ada tetapi keuangannya tidak mengizinkan maka menjadi kewajiban seluruh umat Islam untuk bergotong- royong membantunya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al- Maidah ayat 2:

Tolong- menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa.

Dan juga firman Allah dalam Surat Al-Dahr ayat 8:

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.

Gotong- royong umat Islam untuk menyantuni anak- anak terlantar dari anak yatim piatu, baik yang diketahui nasabnya, maupun yang tidak , dapat diwujudkan dalam bentuk yayasan Panti Asuhan, atau bisa juga dititpkan kepada keluarga- keluarga Muslim yang dapat dipercaya untuk mengasuh dan mendidik anak/ anak- anak yatim di tengah- tengah keluarganya atas tanggungan pribadi keluarga muslim yang mau menerimanya.
Baca Selengkapnya....

BIDANG GARAPAN KONSELING AGAMA

PENDIDIKAN DAN PEKERJAAN

Sebuah Doa berbunyi;

Ya Allah sehatkan tubuhku,cerdaskan otakku,bersihkan hatiku indahkan akhlakku

Pendahuluan

Banyak hal yang manusia lakukan supaya kita bertubuh sehat,berotak cerdas, berhati bersih, berakhalk indah.Biasanya agar agar tubuh kita sehat, kita berkonsultasi dengan dokter, agar hati hati kita bersih dan akhlak kita indah, kita berkonsultasi/bertanya pada ulama atau tokoh agama.Agar otak kita cerdas kita berbicara pada guru.Pada dasarnya manusia telah dibekali perangkat untuk mengembangkan tingkat kecerdasan dan ketinggian budi pekertinya.Dari segi kejiwaan, sejak lahir manusia telah memiliki kapasitas yang berbeda-beda,tetapi dari segi Pendidikan,manusia lahir dalam keadaan yang sama, yaitu bersih, dalam keadaan yang fitrah.Perjalanan hidupnyalah yang akan menentukan corak dan tingkat kecerdasan serta kepribadiannya.

Agama seseorang ditentukan oleh Pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan yamh dilaluinya pada masa kecilnya dulu.Seseorng yang pada waktu kecilnya tidak pernah mendapatkan Pendidikan agama, maka pada dewasanya nanti, ia tidak akan merasakan pentingnya agamadalam hidupnya.Lain dengan halnya dengan orang yang waktu kecilnya mempunyai pengalaman-pengalaman agama.Misalnya, ibu bapaknya yang orang yang tahu beragama, lingkungan sosial dan kawan-kawannya juga hidup menjalankan agama, ditambah pula dengan Pendidikan agama, secara sengaja dirumah, sekolah dan masyarakat.Maka orang-orang itu dengan sendirinya mempunyai kecenderungan kepada hidup dalam aturan-aturan agama, terbiasa menjalankan ibadah, takut melangkahi larangan- larangan agama dan dapat merasakan betapa nikmatnya hidup beragama.

Sampai saaat ini perkebangan Pendidikan beragama di Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah permasalahan yang cukup mendasar.Permasalahan itu menyangkut berbagai perangkat Pendidikan yang mendukung pada kualitas pengembangan akademik dan sarana yang dibutuhkan dalam menunjang keberhasilan dari suatu proses pembelajaran.

Tantangan yang harus diperhitungkan dalam perkembangan Pendidikan keagamaan ke depan adalah tantangan internal dan eksternal.Tantangan internal Pendidikan keagamaan Pendidikan keagamaan Pendidikan dapat dilihat dari aspek landasan filosofis pendididikan agama dan tataran perencanaaan maupun pelaksanaan di lembaga Pendidikan.Landasan filosofis Pendidikan islam terlihat dengan adanya berfikir dikotomotis dalam pengembangan ilmu pengetahuan dukalangan ilmuan dan umat islam itu sendiri.Namun saat ini sudah mulai terlihat menuju integrated keduannya dan Pendidikan keagamaan diharapkan dapat merombak pola pikir seperti itu,sehingga ilmuan islam memiliki landasan filosofis tentang kesatuan ilmu pengetahuan.

Tantangan eksternal lebih merupakan berbagai perubahan yang dialami masyarakat dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa kini dan akan dating.Berbagai tantangan itu secara lambat atau cepat akan ikut serta mendorong terjadinya pergseran-pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakat.

Pergeseran nilai itu bisa terjadi pada aktivitas keseharian seseorang dalam lapangan pekerjaan dan berpenghidupan.Yang seseorang dalam pekerjaan danberpenghidupan sangat ditentukan oleh sosok kepribadian orang tersebut.Sosok kepribadian seseorang sebenarnya merupakan perpaduan dari seluruh sifat fisik, intelektual,psikologi, sosial dan etika, yang terbentuk sepanjang riwayat hidupnya.Kepribadian bisa terbentuk melalui Pendidikan yang dialaminya.

A.PENDIDIKAN

I.Bimbingan Konseling Pendidikan

1.Pengertian Pendidikan

Dalam bahasa Arab Pendidikan diartikan dengan kata Tarbiyah, secara bahasa ia berarti;Pendidikan, pengasuhan dan pemeliharaan.Namun selain dari kata tarbiyah dalam bahasa Arab juga ada istilah ta’dib, ta’lim, tadris,tadziyak, dan tadzkirah yang secara keseluruhan berarti Pendidikan itu berarti membina, memelihara, mengajarkan, menyucikan jiwa dan mengingatkan menusia terhadap hal-hal yang baik.Banyak ahli memberikan definisi tentang Pendidikan antara lain:

Ø Bahwa Pendidikan itu sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan serta memerlukan tahapan dan proses.

Ø Suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberi pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan.Salah satu dasar utama Pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.

Sedangkan Prof.Dr.Ahmad Mubarok MA, memberikan definisi bahwa Pendidikan itu ialah merubah dan memindahkan nilai kebudayaan kepada setiap individudalam masyarakat.Proses pemindahan nilai budaya itu dapat melalui:

A. Pengajaran, yakni pemindahan pengetahuan seseorang kepada orang lain yang belum memilikinya dengan mengajarkan sebab-akibat dan memilah suatu masalah.

B. Proses pelatihan, yaitu proses pemindahan budaya yang cepat disbanding dengan proses pengajaran teori.

C. Indoktrinasi, yakni proses yang melibatkan seseorang untuk meniru atau mengikuti atau mengikuti apa yang diperintahkan oleh orang lain.

Proses pemindahan budaya dalam masyarakat manapun mangandung unsure-unsur sebagai berikut :

A. Akhlak atau etika

B. Estetika atau keindahan

C. Sain atau ilmu pengetahuan

D. Teknologi

Dalam peradaban manusia menunjukan bahwa setiap bangsa berbeda dalam menitikberatkan pendidikannya, ada yang mengutamakan setik etik sambil menomorduakan yang lain, ada yang mengutamakan Pendidikan teknologi sambil menomorduakan yang lain dan seterusnya.Idealnya ke empat unsur itu diperhatikan secara profesional dalam kebijakan Pendidikan, tetapi kebijakan Pendidikan pada suatu masyarakat belum tentu ditentukan oleh ahli Pendidikan, terkadang melalui pertimbangan politis yang justru lebih dominan dalam penentuan kebijakan Pendidikan, sehingga hasilnya secara makro tidak seperti yang diharapkan.

2.Tujuan dan Lingkup Pendidikan

Tujuan Pendidikan biasanya diazaskan pada falsafah dan pandangan hidup yang dianggap sesuai untuk mengembangkan dan membentuk suatu generasi memandang sebagai pewaris generasi sekarang.

Didalam Isalam dikenal Pendidikan agama islam yang bertujuan diantaranya untuk mengusahakan agar masyarakat berkembang kearah yang lebih baik sesuai dengan ajaran agama yang diawali dengan agama yang diawali dengan Pendidikan akhlak.Sedangkan dinegara barat menurut Prof.Dr.Ahmad Mubarok,menuturkan bahwa tujuan pendidikannya bersifat pragmatis untuk menciptakan manusia yang bersifat pragmatis pula, di Rusia untuk membentuk manusia komunitis, dan sementara di Indonesia tujuan pendidikannya adalah untuk membentuk manusia yang pancasialis.

Lingkup obyek Pendidikan adalah aspek kepribadia (psikologi) dan aspek psikopisik atau psikomotorik.Istilah yang terkenal didunia Pendidikan adalah : kognitip, afektip dan psikomotorik yang kemudian dipopulerkan menjadi cerdas, terampil dan takwa.Sasaran dan obyek Pendidikan nasional Indonesia adalah membentuk genersi yang cerdas secara intelektuil, memiliki kepribadian manusia Indonesia yang beragama serta terampil dalam bekerja, atau sebagai manusia Indonesia seutuhnya,

3.Filosofi Pendidikan

Pendidikan biasanya berawal pada saat seseorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup.

Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan music atau membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran.Banyak orang yang lain, pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada Pendidikan formal.Seperti kata Mark Twain, “saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu Pendidikan saya”.Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam-sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka-walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.

4.Unsur-Unsur Pendidikan

Menurut Dra.Nuryanis, M.Ag dalam bukunya Panduan Pendidikan Agama Islam pada masyarakat ada beberapa yang harus diperhatikan dalam Pendidikan yaitu:

a) Pendidikan hendaknya memelihara fitrah anak dan memantapkan dengan penuh perhatian

b) Pendidikan dalam rangka menumbuhkembangkan aneka ragam bakat dan kesiapan anak.

c) Orang tua sebagai Motivator terhadap perkembangan anaknya yang kemudian diteruskan oleh guru di sekolah atau di mayarakat sebagai lingkungan yang mempengaruhi Pendidikan dan perkembangan anak.

d) Mengarahkan fitrah atau potensi yang dimiliki anak kearah yang lebih baik dan mengupayakan kesempurnaannya;Allah memberikan dua potensi yang berkembang dalam diri setiap anak.Orang tua atau guru yang baik akan berusaha menumbuhkembangkan potensi yang ada itu kea rah yang lebih baik.

5.Sasaran Pendidikan – terutama Pendidikan Agama

Ada empat hal sasaran Pendidikan :

a) Menyadarkan manusia terhadap hubungannya dengan Allah, mendorong serta membimbing untuk beribadah kepadanya dan menyadarkan bahwa tugas utamanya adalah mengabdi kepada-Nya.

b) Menyadarkan manusia dalam hubungannya dengan masyarakat dimana dia berada

c) Menyadarkan manusia secara individual pada posisi dan fungsinya ditangan mahluk lain, serta bertanggung jawab dalam kehidupan.

6.Kualitas Pendidikan

Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas Pendidikan – khususnya di Indonesia – yaitu :

a) Faktor internal, meliputi jajaran dunia Pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Daerah, dan juga sekolah yang berada digaris depan.Dalam hal ini, interpensi dari pihak – pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar Pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.

b) Faktor Eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana, masyarakat merupakan ikon Pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya Pendidikan yaitu sebagai obyek dari Pendidikan.

7.Jenjang Pendidikan

Jenjang Pendidikan adalah tahapan Pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang akan dikembangkan.

a.Pendidikan Anak usia Dini.

Pendidikan anak usia dini (PAUD)adalah jenjang Pendidikan sebelum jenjang Pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia anak enam tahun yang dilakukan melalui pemberian ransangan Pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki Pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal.

Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan Pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar kea rah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar),kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual),sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.

Ada tujuan diselenggarakannya Pendidikan anak usia dini yaitu:

Ø Tujuan Utama:

Untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas,yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuia dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal didalam memasuku Pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan dimasa dewasa.

Ø Tujuan Penyerta:

Untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.Rentangan anak usia dini menurut pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayay 1 adalah 0-6 tahun.Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya dibeberapa Negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.

Ruang lingkup Pendidikan Anak Usia Dini

· Infant (0-1 tahun)

· Toddler (2-3 tahun)

· Preschool/Kindergarter children (3-6 tahun)

· Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun)

b.Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar adalah jenjang Pendidikan awal selama sembilan tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang Pendidikan menengah.Di akhir masa Pendidikan dasar selama enam tahun pertama (SD/MI),para siswa harus mengikuti dan lulus dari Ujian Nasional (UN) untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke tinggkat selanjutnya (SMP/MTs) dengan lama Pendidikan tiga tahun.

Satuan Pendidikan penyelenggara

Ø Sekolah Dasar (SD)

Ø Madrasah Ibtidaiyah (MI)

Ø Program paket A

Ø Sekolah Menengah Pertama (SMP)

Ø Madrasah Tsanawiyah (MTs)

Ø Madrasah Paket B

Ø Pendidikan Diniyah dasar dan menengah pertama

c.Pendidikan Menengah

Pendidikan Menengah (sebelum dikenal dengan sebutan sekolah lanjutan Tingkat Atas) adalah jenjang Pendidikan lanjutan Pendidikan dasar.

1.Jenis – jenisnya adalah:

Ø Pendidikan Menengah Umum

Pendidikan Menengah Umum diselenggarakan oleh Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Madrasah Aliyah (MA).Pendidikan Menengah Umum dikelompokan dalam program studi sesuai dengan kebutuhan untuk belajar lebih lanjut di perguruan tinggi dan hidup didalam masyarakat.Pendidikan menengah umum terdiri atas tiga tingkat.

Ø Pendidikan Menengah Kejuruan

Pendidikan menengah kejuruan diselenggaraka oleh Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK).Pendidikan menengah kejuruan dikelompokan dalam bidang kejuruan didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/seni, dunia industry/dunia usaha, ketenagakerjaan baik secara nasional, regional maupun global, kecuali untuk program kejuruan yang terkait dalam upaya-upaya pelestarian warisan budaya.Pendidikan menengah kejuruan terdiri atas tiga tingkat, dapat juga terdiri atas empat tinggkat sesuai dengan tuntutan dunia kerja.

2.Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi adalah jenjang Pendidikan setelah Pendidikan menengah.

Jenis Pendidikan Tinggi

Ø Pendidikan Akademik

Pendidikan Akademik adalah Pendidikan tinggi yang diarahkan terutama pada penguasa dan pengembangan disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, dan/seni tertentu,yang mencakup program Pendidikan sarjana, magister, dan doctor.

Satuan Pendidikan Penyelenggara:

Ø Perguruan Tingg

Perguruan tinggi adalah satuan Pendidikan penyelenggara Pendidikan tinggi.Peserta didik perguruan tinggi disebut mahasiswa, sedangkan tenaga pendidik perguruan tinggi disebut dosen.

Ø Perguruan Tinggi di Indonesia

Di Indonesia, perguruan tinggi dapat berbentik Akademik, politeknik, Sekolah Tinggi, Institut, dan Universitas.Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan Pendidikan Akademik, provesi dan Vokasi dengan Pogram Pendidikan diploma (D1, D2, D3, D4), sarjana (S1), magister (S2), doctor (S3), dan spesialis.

Universitas, institute, dan sekolah tinggi yang memiliki program doctor berhak memberikan gelar doctor kehormatan (doctor honoria causa)kepada setiap individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi kemasayarakkatan, keagamaan, kebudayaan atau seni.Sebutkan guru besar atau professor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.

Baca Selengkapnya....

BAGIAN I

MANUSIA, KEBUDAYAAN, DAN PERADABAN

A. Manusia

Pembicaraan tentang manusia tidak dapat dilepaskan dari peradaban dan kebudayaan, begitu juga sebaliknya pembicaraan tentang peradaban tidak dapat dilepaskan dari konteks kedudayaan dan tidak dapat dilepaskan dari manusia sebagai pelakunya, pencipta dan pengguna. Timbul pertanyaan, siapakan manusia itu, darimana asalnya, bagaimana manusia diciptakan, bagaimana ia berkembang sehingga memiliki daya dan keagungan rohani, yang dapat membedakannyanya dengan makhluk lain?[1]

Pertanyaan tentang siapakah manusia telah banyak memperoleh jawaban dari para ahli pikir yang terdahulu. "Filosof Yunani kuno Aristoteles [384 - 322 SM], memberikan jawaban dengan menitik beratkan pada “kemampuan manusia berpikir” dan “berkodrat hidup bermasyarakat”. Manusia dikatakan sebagai animal rasional [makhluk berpikir]".[2] Sarjana-sarjana muslim mendefinisikan manusia al-hayawanun Nathiq الحيوان الناطق] ] yang dalam hal ini istilah nathiq ناطق]] berarti rasional dan manusia memiliki suatu fakultas batin yang mampu merumuskan “makna-makna” yaitu dzu-nuthq [ذونطق ].[3] Selain itu, ada pandangan tentang manusia dilihat dari sudut manusia memiliki keistimewaan menggunakan "simbol-simbol". Filsuf Inggris Ernst Cassirer [1874], menyatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum [hewan yang bersimbol]. Sebagian para ahli yang melihat manusia, dengan menitikberatkan pada keharusan manusia bekerja mereprodusir bahan-bahan alami menjadi bahan-bahan ekonomi guna menenuhi kebutuhan hidup manusia sehari-hari, maka Karl Marx [1818 – 1883] mengatakan bahwa manusia adalah homo fabe 1883] mengatakan bahwa manusia adalah homo faber [makhluk pekerja],[4] dan masih banyak lagi pandangan tentang manusia yang dikemukakan para ahli, yang masing-masing menitik beratkan pada salah satu segi dari ciri-ciri, karakteristik, dan sifat-sifat yang dimiliki manusia.

Dalam Qur'an ditemukan jawaban atas pertanyaan: dari mana manusia berasal, bagaimana penciptaan manusia, dan bagaimana ia dapat berkembangan yang memiliki daya dan keagungan rohani dan membedakannya dengan makhluk Allah yang lain. Dalam Al-Qur’an telah menegaskan dengan memberi jawaban bahwa manusia adalah ciptaa Allah yang bukan keturunan kera seperti teori evolusi Darwin, melainkan manusia pertama [Adam] yang diciptakan Allah yang berasal dari “sari pati tanah”. Allah menciptakan manusia yang terdiri dari unsur materi dan roh, yang tentu melalui tahapan-tahapan yaitu "bermula dari penciptaan jasad yang berasal dari “sari pati tanah” [Q. S. 7:148, 11:61, 21:8, 23:12, dan 55:14]. Unsur jasad ini, mengandung makna bahwa manusia berasal dari alam dan sepenuhnya terikat dengan hukum-hukum alam atau sunnatullah. Di dalam jasad terdapat kehidupan [al-hayat] yang menggerakkan tubuh manusia berinteraksi dengan realitas alam", dan manusia mempunyai "kecenderungan [instink] dan pertumbuhan. Manusia ditiupkannya ruh Tuhan yang menjadi salah satu unsur kehadiran manusia", karena dengan "unsur ini manusia mampu mendayagunakan instrumen jasad dan hayatnya untuk menangkap dan memahami kebenaran [Q.S. 32:9, 15:29, 66:12, dan 58:22] yang kemudian akan memunculkan kesadaran akan hakekat diri dan kehidupannya". Roh yang ditiupkan pada manusia merupakan sarana untuk membangun kekuatan berpikir yang memungkinkan manusia memilki kemampuan cipta, karsa, dan rasa untuk mampu menyusun pengetahuan yang berhubungan dengan kebenaran. Unsur-unsur inilah yang membentuk kepribadian manusia [al-nafs], yaitu pribadi yang mempunyai pandangan, pemikiran, sikap, inovasi, dan daya kreasi yang kemungkinan berbeda satu dengan yang lain.

Dengan penciptaan seperti itu, manusia dibedakan dari makhluk Allah lainnya. Sebagian para ahli yang menggunakan istilah animal untuk manusia, karena “pada sebagian besar karakteristik fisiknya serupa dengan hewan, dorongan emosi untuk mempertahankan diri serta kemampuan untuk memahami dan belajar. Namun, manusia berbeda dengan hewan dari karakteristik rohnya yang membuatnya cenderung mencari Sang Penciptanya [Allah] dan menyembah-Nya serta rindu akan keutamaan idealisme yang mengantarkannya pada peringkat tertinggi dari kesempurnaan manusiawi.[5]

Manusia adalah ciptaan Allah yang sempurna, dalam al-Qur'an yang dapat dikemukakan dan dijadikan sebagai jawaban atau argumentasi yang mendasar atas pertanyaan-pertanyaan tersebut yang tersirat dalam surat al-Mukminun [23],ayat 115,sebagai berikut: أفحسبتم أنما خلقناكم عبثا وأنكم إلينا لا ترجعون artinya: " Apakah kamu sekalian mengira, bahwa Kami menciptakan kamu sia-sia tanpa hikmah dan tanggung jawab?, dan bahwa kamu semuanya tidak dikembalikan kepada kami?".[6] Ahmad Azhar Basyir, menyatakan bahwa dalam ayat ini diperoleh tiga unsur untuk memberikan pengertian tentang manusia, yaitu: (1) penegasan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah, (2) manusia diciptakan tidak sia-sia, (3) manusia akhirnya akan dikembalikan kepada Allah untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan-perbuatannya selama hidup didunia. Dari surat ini, dapat disimpulkan bahwa rumusan pengertian "manusia adalah makhluk fungsional yang bertanggungjawab",[7] artinya, masing-masing manusia bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya [Q.S.6:164] ["setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya"]. Heterogenitas manusia kemudian diaktualisasikan di dalam kehidupannya yang ditentukan oleh kemampuan untuk mengubah dan mendayagunakan diri, sebagaimana tersirat dalam Qur'an (8):53 sebagai berikut:, ذلك بأن الله لم يك مغيرا نعمة أنعمها على قوم …, artinya: "yang demikian karena Allah sekali-kali tidak akan mengubah nasib suatu kaum"[8]... Selain ayat ini, dalam surat ar-Ra'd [13], ayat 11, Allah berfirman: إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم... …, artinya: "Sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka sendiri mengubah dirinya”.[9] Interpretasi dari ayat-ayat ini, menunjukkan manusia memeliki kebebasan untuk mengubah dan mendayagunakan potensi dirinya, untuk itu manusia harus berusaha dengan sungguh-sungguh dalam aktualisasi diri dan selalu berada pada jalan kebenaran ia akan senantiasa mendapatkan bimbingan-Nya. Dari penjelasan di atas, terjawablah pertanyaan tentang manusia diciptakan dan berkembang sehingga tergambar bahwa manusia memiliki potensi [daya] dan keaguman rohani yang membedakannya dengan makhluk Allah yang lain.

B. Kebudayaan

1. Hubungan Manusia dengan Kebudayaan

Dalam al-Qur’an, manusia diciptakan sebagai khalifah fil ardi dan dilengkapi Allah dengan “akal budi” dan memiliki kemampuan “cipta, karsa, dan rasa”. Dengan akal budi, manusia mampu memikirkan kosep-konsep maupun menyusun prinsip-prinsip yang diusahakan dari berbagai pengamatan dan percobaan. Dengan kemampuan cipta, karsa, dan rasa, manusia mampu menjadikan keindahan penciptaan alam semesta seluruhnya dan ciptaan kekuasaan-Nya. “Dan dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian pendengaran, penglihatan, dan hati. [Tetapi] sangat sedikit kamuu yang bersyukur”. [Q.S. al-Mu’minun, 23:78].

Allah telah mendorong manusia untuk memikirkan alam semesta, mengamati berbagai gejala alam, merenungkan berbagai ciptaan-Nya dan mengungkapkan hukum-hukum Allah di alam semesta ini. “Manusia mampu menggunakan aqalnya, yaitu menyatukan spritual [tauhid] antara rasio yang memikirkan penciptaan alam dengan al-qalb yang mengingat Tuhan dalam segala tanda-tanda kekuasaan-Nya. Aqal yang bekerja melalui kesatuan pikir dan zikir mampu mentransendir realitas. Aqal, tidak sepenuhnya hanya diartikan dengan rasio semata-mata, karena rasio [pikiran] dapat dikembangkan oleh kajian ilmu-ilmu, sedangkan zikir [al-qalb] dikembangkan oleh spritualisme agama. Maka, keduanya merupakan kesatuan pembentuk kebudayaan. Dapat dijelaskan dalam bagan di bawah ini[10]

Manusia sebagai khalifah Allah dituntut untuk mampu menciptakan piranti kehidupannya, yaitu kebutuhan rohani [ilmu, seni, budaya, sastra], kebutuhan jasmani atau fisik [sandang, pangan, perumahan, peralatan teknologi], dan kebutuhan sosial [sarana ibadah, sarana pendidikan, sarana pembangunan, angkutan umum]. Maka dengan karunia Allah, berupa akal budi, cipta, rasa, dan karsa manusia mampu menciptakan kebudayaan. Manusia dengan akal budinya mampu mengubah nature menjadi kultur, mampu mengubah alam menjadi kebudayaan.[11] Manusia tidak hanya semata-mata terbenam di tengah-tengah alam, justru manusia mampu mengutik-utik alam dan mengubahnya menurut kemauannya sehingga tercipta apa yang dinamakan kebudayaan. Seperti dikatakan C.A. Van Peursen, “manusia berlainan dengan hewan-hewan, maka manusia tidak hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu. Entah manusia menggarap ladangnya atau membuat sebuah laboratorium untuk penyelidikan ruang angkasa, entah manusia mencuci tangannya atau memikirkan suatu sistem filsafat, pokoknya hidup manusia lain dari hidup seekor hewan, ia selalu mengutik-utik lingkungan hidup alamiyahnya, dan justru itulah kita namakan kebudayaan.[12]

Dengan demikian, segala sesuatu dapat dimungkinkan untuk diciptakan oleh manusia, maka ciptaan manusia yang dinamakan kebudayaan itu mempunyai sifat, corak dan ragam yang luas dan kompleks. Ada kebudayaan yang material, yang dapat dilihat dan diraba karena wujudnya kongkrit, seperti pakaian, kancing, mesin ketik, komputer dan sebagainya. Ada pula kebudayaan immaterial, yang tidak dapat dilihat dan diraba karena wujudnya abstrak, seperti ilmu pengetahuan, kesenian, dan lain sebagainya.[13] Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan yang beraneka ragam sifat, jenis dan coraknya itu, paling sedikit mempunyai tiga wujud, yaitu: [1] Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma, peraturan dan sebagainya. [2] Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas, kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. [3] Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.14[14]

Dari uraian ini, tampak jelas bahwa hubungan antara manusia dan kebudayaan, menusia sebagai penciptanya, juga manusia sebagai pemakai kebudayaan maupun sebagai pemelihara atau sebagai perusak kebudayaan.

2. Kebudayaan

Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta budhayah, bentuk jamak dari “buddi” yang berarti budi atau akal. Jadi, kebudayaan biasa diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada seorang sarjana yang mengupas kata “budaya” sebagai perkembangan kata “budidaya” yang berarti daya dari budi [P.J. Zoetmulder, seperti dikutip Koentjaraningrat, 1982: 80]. Karena itu, kata budaya dan kebudayaan dibedakan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan kebudayaan berarti segala hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu [MM. Djoyodiguno, 1958:24]. Dalam antropologi budaya tidak ada perbedaan arti antara budaya dan kebudayaan. Dalam hal ini kata budaya hanya dipakai sebagai penyingkat saja.

Adapun kata culture yang artinya sama dengan kebudayaan, berasal dari kata Latin colere yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama mengolah tanah, atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.

Mengenai definisi kebudayaan telah banyak dikemukakan oleh para ahli ilmu sosial. Para sarjana dan ahli antropologi yang memberikan definisi tentang kebudayaan, yaitu : [1] E.B. Taylor [Inggris], dalam bukunya Primitive Culture, mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. [2] R. Lintonn, dalam bukunya The Cultural Background of Personality, mendefinisikan kebudayaan sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang unsure-unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu. [3] A.L. Kroeber dan Clyde Kluckhon, kebudaayaan adalah keseluruhan hasil perbuatan manausia yang bersumber dari kemauan, pemikiran, dan perasaannya. Karena jangkauannya begitu luas, maka Ernest Cassire, membaginya ke dalam lima aspek yang meliputi : kehidupan spiritual, bahasa dan kesusasteraan, keseniaan, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, studi tentang kebudayaan berarti studi mengenai tingkah laku manusia. Tingkah laku manusia dalam cahaya studi budaya dapat dilukiskan sebagai kerja, dan bicara. Tiga aktivitas tersebut disebut gerakan dasar karena sesuai dengan tiga syarat yang menguasai eksistensi manusia di dunia. [4] S.T. Alisahbana, kebudayaan adalah menifestasi suatu bangsa. [5] M. Hatta, kebudayaan adalah ciptaan hidup suatu bangsa. [6] Dauson, dalam bukunya, Age of the Gods, mengartikan kebudayaan sebagai cara hidup bersama [culture is common way of life]. [7] J.P.H. Duyvendak, kebudayaan adalah kumpulan dari cetusan jiwa manusia sebagai yang beraneka ragam, dan berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. [8] Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. [9] M.M. Djojodigoeno, dalam bukunya Asas-asas Sosiologi [1958], menyatakan bahwa kebudayaan atau budaya adalah dari budi, yang berupa cipta, karsa, dan rasa.

Cipta, adalah kerinduan manausia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengalamannya, yang meliputi pengalaman lahir dan batin. Hasil cipta berupa berbagai ilmu pengetahuan. Karsa, adalah kerinduan manusia untuk menginsafi tentang hal sangka paran. Dari mana maanusia sebelum lahir [=sangkan] dan kemana manusia mati [=paran]. Hasilnya berupa norma-norma keagamaan, kepercayaan. Timbulah bermacam-macam agama karena kesimpulan manusia juga bermacam-macam pula. Rasa, adalah kerinduan manusiaa akan keindahan sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati keindahan. Manusia merindukan keindahan dan menolak keburukan atau kejelekan. Buah perkembangan rasa ini terjelma dalam bentuk berbagai norma keindahan yang kemudian menghasilkan berbagai macam kesenian.

Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil cipta, rasa, karsa dan rasa manusia untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.

a. Hasil-hasil budaya manusia itu dapat dibagi menjadi dua macam:

1. Kebudayaan jasmaniah [kebudayaan fisik] yang meliputi benda-benda ciptaan maanusia, missal alat-alat perlengkapan hidup.

2. Kebudayaan rohaniah [nonmaterial] yaitu semua hasil ciptaan manusia yang tidak dapat dilihat dan diraba seperti: agama, ilmu pengetahuan, bahasa, dan seni.

b. Kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif [biologis] melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar.

Bahwa kebudayaan itu diperoleh maanusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat, akan sukarlah bagi manusia untuk membentuk

c. kebudayaan. Sebaliknya tanpa kebudayaan maanusia tidak dapat mempertahankan kehidupannya.

d. Jadi, kebudayaan itu adalah kebudayaan manusia. Hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan. Ada kebudayaan yang dapat digunakan untuk membedakan maanusia dari hewan.

Uraian di atas dimaksudkan untuk menekankan suatu kesimpulan bahwa: [1] kebudayaan adalah manifestasi dan perwujudan segala kegiatan dan aktifitas manusia dalam menjawab tantangan eksistensi hidupnya, [2] kebudayaan adalah karya dan kreasi insani, ciptaan manusia atau man-made, [3] kebudayaan adalah khas manusia, dan [4] kebudayaan adalah merupakan cirri yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.[15]

Dalam percakapan atau tulisan-tulisan, istilah kebudayaan sering dikaitkan dengan istilah peradaban [berasal dari kata Arab: Adab yang berarti kesopanan, kehalusan dan kebaikan budipekerti”]. Istilah kebudayaan sering disejajarkan dengan istilah asing kultur dan istilah peradaban biasanya disejajarkan dengan istilah asing civilization [civilisasi].

3. Peradaban

Koentjaraningrat, menyatakan masalah kebudayaan dan peradaban hanya soal istilah saja. Istilah “peradaban” biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsure-unsur kebudayaan yang “harus” dan “indah”, seperti : kesenian, ilmu pengetahuan, serta sopan santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu masyarakat dengan struktur yang kompleks. Tetapi pada sisi lain, istilah peradaban juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.[16]

Peradaban berasal dari kata adab yang artinya kesopanan, kehormatan, budi bahasa, etika, dan lain-lain. Lawan dari beradab adalah biadab, tak tahu adab dan sopan santun. Menurut ahli antropologi De Haan, peradaban merupakan lawan dari kebudayaan. Peradaban adalah seluruh kehidupan social, politik, ekonomi, dan teknologi. Jadi, peradaban adalah semua bidang kehidupan untuk kegunaan praktis. Sebaliknya, kebudayaan adalah semua yang berasal dari hasrat dan gairah yang lebih tinggi dan murni yang berada di atas tujuan praktis dalam hubungan masyarakat, misalnya musik, seni, agama, ilmu, filsafat, dan lain-lain. Jadi, lapisan atas adalah kebudayaan sedang lapisan bawah adalah peradaban


[1] Aunur Rahim Faqih dan Munthoha [editor], 2002, Pemikiran & Peradaban Islam, Cetakan II, UII Press, Yogyakarta, hlm. 1.

[2] Ahmad Azhar Basyir, 1985, Citra Manusia Muslim, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, hlm.1

[3] Muhammad an-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan..., hlm. 37.

[4] Ahmad Azhar Basyir, Citra Manusia Muslim, hlm. 1.

[5] M.Utsman Najati, 1985:244., dalam Aunur Rahim Faqih dan Munthoha, Pemikiran & Peradaban Islam, hlm. 3.

[6] Konsep Dasar Ta’dib, From: http://www.pii.4t.com/Konsep.htm.,1/8/ 2001, hlm.4.

[7] Al-Mukminin (23): 115., terj.Zaini Dahlan, Qur'an Karim dan Terjemahan Artinya, Cet.Pertama, (Yogyakarta: UII Press, 1998), hlm. 610.

[8] Ahmad Azhar Basyir, Citra Manusia Muslim, hlm. 2.

[9] Ar-Rad, Ayat 11., terj. Zaini Dahlan, Qur'an Karim dan Terjemahan Artinya, hlm. 435.

[10] Musa Asy’arie, 1999, Filsafat Islam Tentang Kebudayaan,LESFI, Yogyakarta.

[11] Faisal Ismail, 1996, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, Tiara Ilahi Press, Yogyakarta, hlm.25.

[12] Faisal Ismail, 1996, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, Tiara Ilahi Press, Yogyakarta, hlm.26.

[13] Faisal Ismail,1996,Paradigma Kebudayaan Islam,Studi Kritis dan Refleksi Historis,hal. 26.

[14] Koentjaraningrat, 1964, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, hlm. 15.

[15] Faisal Ismail, 1996, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, hlm.27

[16] Faisal Ismail, 1996, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, hlm.27-28.

Baca Selengkapnya....