Selasa, 10 Maret 2009

ADOPSI DAN STATUS HUKUM ANAKNYA

Adopsi mempunyai dua pengertian, ialah :

1. Mengambil anak orang lain untun diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri, tanpa memberi status anak kandunh kepadanya

2. Mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak- hak lainnya sebagai hubungan anak dan orang tua.

Pengertian kedua dari adopsi diatas adalah pengetian menurut istilah di Kalangan agama dan adat di masyarakat. Dan adopsi menurut istilah ini telah membudaya di muka bumi ini, baik sebelum islam maupun sesudah islam, termasuk di masyarakat Indonesia.

Adopsi di Indonesia pada umumnya dilakukan dengan memakai upacara keagamaan dan dengan pengumuman dan penyaksian pejabat dan tokoh agama agar terang (clear) statusnya. Dan setelah selesai upara adopsi , maka si anak menjadi anggota penuh dari kerabat yang mengangkatnya, dan terputus hak warisnya dengan kerabatnya yang lama, seperti di Bali.

Di Sulawesi Selatan, anak angkat masih ada hubungan waris dengan orang tua kandung dan keluarganya, dan ia tidak berhak sebagai ahli waris dari orang tua angkat dan keluarganya, tetapi ia bisa di beri hibah atau wasiat. Menurut hemat penulis, praktek hukum keluarga atu hukum waris semacam ini di Sulawesa Selatan adalah akibat pengaruh Islam yang kuat di daerah ini. Demikian pula di Jawa, anak angkat masih tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan keluraganya, dan ia pun berhak pula sebagai ahli waris dari orang tua angkatnya, hanya terbatas pada harta peninggalan selain barang- barang pusaka yang berasal dari warisan yang harus dikembalikan kepada kerabat si suami atau si istri. Menurut B. Ter. Haar Bzn, hak waris anak angkat di Jawa seperti tersebut ( tidak penuh hak warisnya atas harta peninggalan orang tua angkat), adalah karena adopsi di Jawa itu bukan urusan kerabat dan pelaksanaannya tidak dibuat “terang”, artinya tidak pakai upacara keagamaan dan disaksikan oleh pejabat tokoh agama. Menurut B. Ter Haar Bzn, di Minangkabau tampaknya tidak ada adopsi dan kalau hal ini benar menurut hemat penulis, karena pengaruh agama Islam yang cukup kuat di daerah itu.

Bagaimana pandangan Islam tentang adopsi? Apabbila adopsi atau tabbani ( bhs. Arab) diartikan sebagai “pengangkatan anak orang lain dengan status seperti anak kandung “, maka jelas Islam melarang sejak turun Surat Al- Ahzab ayat 37:

Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia (setelah habis masa idahnya ) supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini istri- istri anak – anak angkat mereka , apabila anak – anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istri – istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.

Ayat ini merupakan rangkaian ayat-ayat Alquran yang menceritakan tentang kasus rumah tangga Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti Jahsy. Zaid adalah bekas budak yang dimerdekakan oleh Nabi, kemudian dikawinkan dengan Zainab, saudara sepupu Nabi sendiri. Suami istri ini adalah orang-orang baik dan taat pada agama. Namun rumah tangganya tidak bahagia, karena perbedaan status sosialnya yang jauh berbeda. Sebab Zainab dari kalangan bangsawan, sedangkan Zaid adalah bekas budak, meskipun Islam tidak mengenal diskriminasi berdasarkan ras, bangsa/suku bangsa, bahasa dan sebagainya. Zaid menyadari hal itu ( ketidakharmonisan rumah tangganya) dan tepa selira, maka ia mohon izin kepada nabi untuk menceraikan istrinya, tetapi nabi menyuruh agar ia tetap mempertahankan rumah tangganya. Dan ia pun mentaatinya. Namun, setelah ternyata rumah tangga Zaid tetap tidak harmonis, dan semua Sahabat dan masyarakat tahu, maka akhirnya perceraian Zaid dengan Zaenab di izinkan, dan bahkan setelah habis idahnya, Nabi di perintahkan oleh Allah untuk mengawini Zaenab, bekas anak angkatnya.

Surat Al- Ahzab ayat 37 yang menerangkan kasus Zaid dengan Zaenab di atas adalah untuk menegaskan, bahwa:

1. Adopsi seperti praktek di zaman jahiliyah yang memberi status kepada anak angkat sama dengan status anak kandung tidak dibenarkan ( dilarang) dan tidak diakui oleh Islam;

2. Hubungan anak angkat dengan orang tua angkat dan keluarganya tetap seperti sebelum diadopsi , yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan , baik anak angkat itu diambil dari intern kerabat sendiri , seperti di Jawa, kebanyakan kemenakan sendiri diambil sebagai anak angkatnya, maupun diambil dari luar lingkungan kerabat.

Namun, melihat hubungan yang sangat akrab antara anak angkat dan orang tua angkat , sehingga merupakan suatu kesatuan keluaga yang utuh yang diikat oleh rasa kasih sayang yang murni, dan memperhatikan pula pengabdian dan jasa anak angkat terhadap rumah tangga orang tua angkat termasuk kehidupan ekonominya, maka sesuai dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi oleh Islam, secara moral orang tua angkat dituntut memberi hibah atau wasiat sebagian hartanya untuk kesejatera anak angkatnya. Dan apabila orang tua angkat waktu masih hidup lalai memberi hibah atau wasiat kepada anak angkat, maka seyogyanya ahli waris orang tua angkatnya bersedia memberi hibah yang pantas dari harta peninggalan orang tua angkat yang sesuai dengan pengabdian dan jasa anak angkat.

Demikian pula hendaknya angkat yang telah mampu mandiri dan sejatera hidupnya, bersikap etis dan manusiawi terhadap orang tua angkatnya dengan memberi hibah atau wasiat untuk kesejahteraan orang tua angkatnya yang telah berjasa membesarkan dan mendidiknya. Dan kalau anak angkat lalai memberi hibah atau wasiat untuk orang tua angkatnya, maka hendaknya ahli waris anak angkat mau memberi hibah yang layak dari harta warisan anak angkat untuk kesejahteraan orang tua angkatnya.

Sikap orang tua angkat atau ahli warisnya dan sebaliknya dengan pendekatan hibah atau wasiat sebagaimana diuraikan di atas, selain sesuai dengan asas keadilan Islam, juga untuk menghindari konflik antara orang tua angkat/ ahli warisnya dan anak angkat/ ahli warisnya , apalagi kalau mereka yang bersangkutan menuntut pembagian harta warisan menurut hukum adat yang belum tentu mencerminkan rasa keadilan menurut pandangan Islam.

Kalau kita perhatikan motif- motif adopsi di kalangan masyarakat Indonesia bermacam- macam. Ada yang bermotif agar keluarga yang tidak mempunyai anak itu memperoleh anak cucu yang akan meneruskan garis keturunannya, maka dalam hal ini Islam melarangnya. Ada yang bermaksud agar keluarga yang belum dikaruniai anak itu mendapat anak sendiri ( jadi semacam untuk mencari berkah atau pancingan ( Jawa), atau mempunyai tujuan mendapat tenaga kerja; atau karena kasihan terhadap anak- anak kecil yang menjadi yatim piatu, dalam hal ini islam tidak melarangnya, selama anak angkat tersebut tidak diberi status sebagai anak kandung sendiri , yang mempunyai hubungan kewarisan dan lain- lain.

Di kota, terkadang diketemukan bayi yang baru lahir hidup (life birth ) yang di buang oleh orang tua/ keluarga, karena bayi lahir itu di luar perkawinan sebagai akibat kumpul kebo atau free sex; atau bayi itu dibuang atau ditinggalkan di rumah sakit, karena yang bersangkutan tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya; maka Islam memandang orang- orang tersebut tidak bertanggung jawab yang menyebababkan terlantarnya bayi, bahkan bisa berakibat kematian. Karena itu berdosa besarlah mereka itu dan dapat dihukum, karena mereka melakukan tindak pidana ( jarimah/ jinayah, bhs. Arab). Pada sisi lain, Islam mewajibkan siapa saja yang menemukan bayi terlantar untuk segera menyelamatkan jiwanya; berdosalah orang yang membiarkannya dan mendapat pahala orang yang menyelamatkannya, sebagaimana tersebut dalam Al- Qur’an Surat Al- Maidah ayat 32:

Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah- olah memelihara kehidupan manusia semuanya.

Apabila bayi yang tidak diketahui asal usulnya itu didatangi oleh suatu keluarga Muslim yang mengaku bahwa bayi itu adalah anaknya dan ia yakin bahwa bayinitu bukan anak orang lain ( dengan adanya tanda/ ciri- ciri ), maka demi menjaga kehormatan dan nama baik anak itu di tengah- tengah masyarakat dengan adanya orang tuanya yang jelas, dapatlah ditetapilakan hubungan nasab tersebut dengan bapak/ keluarga yang mengakuinya; dan terjadilah hubungan kemahraman dan kewarisan antara keduanya.

Apabila tidak ada seorangpun yang mau mengakui bayi tersebut, maka ia tetap berada di bawah perlindungan dan perwalian orang yang memungutnya. Dan wali inilah yang bertanggung jawab mengusahakan kesejahteraan hidupnya, jasmani dan rohaninya, termasuk pendidikan, pengajara n, dan keterampilannya, agar kelak anak itu menjadi manusia yang saleh, yang berguna untuk dirinya sendiri, keluarga, umat dan negara.

Untuk mencukupi semua kebutuhan hidup anak tersebut, walinya berhak meminta bantuan keuangan dari Baitul Mal . Jika Baitul mal itu tidak ada atau ada tetapi keuangannya tidak mengizinkan maka menjadi kewajiban seluruh umat Islam untuk bergotong- royong membantunya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al- Maidah ayat 2:

Tolong- menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa.

Dan juga firman Allah dalam Surat Al-Dahr ayat 8:

Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.

Gotong- royong umat Islam untuk menyantuni anak- anak terlantar dari anak yatim piatu, baik yang diketahui nasabnya, maupun yang tidak , dapat diwujudkan dalam bentuk yayasan Panti Asuhan, atau bisa juga dititpkan kepada keluarga- keluarga Muslim yang dapat dipercaya untuk mengasuh dan mendidik anak/ anak- anak yatim di tengah- tengah keluarganya atas tanggungan pribadi keluarga muslim yang mau menerimanya.

Tidak ada komentar: